Thursday, August 31, 2017

Ringkasan Jurnal Gizi oleh Corvi Atria

Ibu menyusui membutuhkan asupan gizi lebih banyak daripada ibu yang tidak menyusui sehingga membutuhkan keberagaman jenis makanan yang dikonsumsi. Sebagian besar ibu menyusui di Indonesia memiliki status gizi yang kurang. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis hubungan keberagaman jenis makanan, tingkat kecukupan gizi dengan status gizi ibu menyusui. Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik observasional menggunakan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah 96 ibu menyusui yang masih memberikan ASI dengan usia bayi 0-6 bulan. Jumlah subjek 53 orang yang dipilih dengan teknik purposive sampling. Analisis data menggunakan uji korelasi Pearson dan Rank Spearman. Disarankan kepada puskesmas untuk meningkatkan frekuensi promosi kesehatan seperti penyuluhan makanan sehat, beragam terutama pentingnya mengkonsumsi sayur dan buah-buahan saat menyusui oleh petugas kesehatan seperti kader posyandu.
Pemenuhan gizi yang baik bagi ibu menyusui akan berpengaruh terhadap status gizi ibu menyusui dan tumbuh kembang bayi. Ibu menyusui membutuhkan tambahan energi sebesar 800 kkal yaitu 600 kkal untuk ibu menyusui dan 200 kkal untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Selama menyusui ibu dianjurkan meningkatkan asupan energi, protein, kalsium, zat besi, asam folat, dan vitamin serta mineral untuk mencukupi kebutuhan zat gizi saat menyusui.
Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa status gizi selama menyusui juga memberikan dampak berarti yaitu menurunkan berat badan karena ibu mengeluarkan energi yang besar. Beberapa faktor yang mempengaruhi status gizi yaitu, keberagaman jenis makanan, dan kecukupan gizi
Dari hasil penelitian dibuktikan bahwa adanya hubungan antara keberagaman jenis makanan dengan status gizi ibu menyusui dan ada hubungan pantangan makanan dengan starus gizi pada ibu menyusui di Kota Semarang .

Informasi tambahan:
HUBUNGAN KEBERAGAMAN JENIS MAKANAN dan KECUKUPAN GIZI DENGAN INDEKS MASA TUBUH (IMT) PADA IBU MENYUSUI DIWILAYAH KERJA PUSKESMAS KEDUNGMUDU KOTA SEMARANG TAHUN 2016
Syifa Fauzia, Dina Rahayuning P , Laksmi Widajanti
Mahasiswa Peminatan Gizi FKM UNDIP
Dosen Bagian Gizi FKM UNDIP
JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT (e-journal) volume 4, nomor 3, April 2016.
https://media.neliti.com/media/publications/18566-ID-hubungan-keberagaman-jenis-makanan-dan-kecukupan-gizi-dengan-indeks-massa-tubuh.pdf

Artikel ini ditulis oleh Corvi Atria 41150076

Wednesday, August 30, 2017

Komposisi dan Nilai Gizi BonCabe sambal tabur level 10 rasa original oleh Ester Novitasari

Komposisi dan Nilai Gizi BonCabe
BonCabe Rasa Original level 10 Berat Bersih 50mg.
Diproduksi oleh PT. KOBE BOGA UTAMA, Tangerang 15810, Indonesia
Per 2,5 mg :
Energi Total 10 kkal, Lemak Total 0 g, Protein 0 g, Karbohidrat Total 1 g, Natrium 95 mg
BonCabe sambal tabor terbuat dari cabai kering pilihan, dengan rasa pedas yang mantap. Praktis dibawa saat bepergian. Taburkan BonCabe di atas nasi hangat, bakso, mie instan, sup, atau hidangan favorit anda lainnya. Rasa pedas yang mantap akan membuat anda ketagihan.
Memiliki no dari BPOM : BPOM RI MD 450110124001
Komposisi :
Cabai Kering (60%), Bawang Merah, Bawang Putih, Garam, Cabai Rawit Bubuk, Bawang Bombay, Gula, Minyak Nabati, Daun Bawang, Lada Puih, Lada Hitam, Ekstrak Ragi, Pengat Rasa (Mononatrium Glutamat), Dinatrium 5'-inosinat & Dinatrium 5'-guanilat).
Informasi nilai gizi
Takaran saji : 2,5 mg
Jumlah sajian per kemasan : 20
Jumlah per sajian (2,5 mg)
Energi Total : 10 kkal (Energi dari lemak : 0 kkal), Lemak Total 0 gram, Protein 0 gram, Karbohidrat Total 1 gram, Natrium 95 mg.
Natrium tertulis 4% AKG berdasarkan kebutuhan energy 2000 kkal.
Kesimpulannya dalam tiap sajian BonCabe sebesar 2,5 gram terdapat 1 gram karbohidrat, yang berarti BonCabe ini mengandung karbohidrat sebesar 40%, selain itu kandungan Natrium yang cukup tinggi yaitu dapat memenuhi 4% AKG berdasarkan kebutuhan energi 2000 kkal, maka perlu diperhatikan penggunaannya terutama bagi penderita hipertensi.
Sumber : Kemasan BonCabe KOBE berat bersih 50g. Kode Produksi : 8 995899 250310.
Profil produk ini ditulis oleh Ester Novitasari - 41150047

Tuesday, August 29, 2017

Ringkasan Jurnal Gizi oleh Natasha Chanellia

Jurnal yang akan saya ringkas mengangkat judul "Pengetahuan Gizi, Keluhan Kesehatan, Kondisi Psikologis, dan Pola Pemberian ASI Ibu Postpartum" memiliki tujuan untuk mengetahui pengetahuan gizi, status kesehatan, kondisi psikologis serta kaitannya dengan pola pemberian ASI pada ibu postpartum. Hal ini dikarenakan dalam upaya pembangunan millenium atau Millennium Development Goals (MDGs) yang terkait langsung dengan pembangunan kesehatan antara lain meningkatkan kesehatan ibu dan menurunkan angka kematian bayi (AKB). Angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB) juga merupakan salah satu tolak ukur ketercapaian kesejahteraan rakyat. Tingginya angka kematian neonatal (AKN) dan AKI menunjukkan pentingnya memperhatikan periode postpartum karena merupakan periode pemulihan setelah proses melahirkan yang membutuhkan pengobatan dan perawatan. Pola pemberian ASI memiliki keterkaitan dengan kondisi postpartum, sehingga penting untuk identifikasi dini terhadap risiko gangguan psikologis pada ibu postpartum untuk mengurangi pengaruh negatif kondisi psikologi ini dan berpotensi untuk meningkatkan keberhasilan pemberian ASI.

               Tingkat pengetahuan akan gizi berdasarkan penelitian yang dilakukan pada ibu postpartum dapat terbilang cukup, walaupun ada sebagian besar objek hanya menyelesaikan pendidikan sekolah dasar dan SMP. Pengetahuan ibu akan gizi baik yang diteliti ini mendapatkan pengetahuannya bersumber dari bidan/petugas kesehatan, kader posyandu, televisi, keluarga, dan teman/tetangga. Hanya saja sangat disayangkan, masih banyak tenaga kesehatan yang justru mempromosikan susu formula, sehingga cukup tinggi persentase ibu postpartum yang tidak memberikan ASI secara eksklusif.

               Ibu postpartum yang diteliti pada jurnal ini memiliki beberapa keluhan kesehatan yang terbilang rendah. Hal ini dapat dipengaruhi juga oleh pelayanan postpartum yang yang dilakukan oleh petugas kesehatan maupun secara mandiri (swamedikasi). Perawatan yang dilakukan oleh subjek adalah kontrol bidan atau tenaga kesehatan lainnya, pijat atau urut, dan mengonsumsi obat serta jamu tradisional. Pada penelitian ini, terapi terbesar yang dilakukan oleh ibu postpartum adalah meminum jamu tradisional, yang pada sebuah penelitian oleh Dahlianti et al di tahun 2005 menunjukkan sebagian besar ibu postpartum yang mengonsumsi jamu galohgor akan merasakan manfaat penyegaran tubuh dan penyembuhan rahim setelah melahirkan.

               Pada penelitian yang dilakukan sebagian besar ibu postpartum mengalami depresi. Hasil wawancara menunjukkan bahwa depresi diakibatkan karena rasa khawatir dan cemas tanpa alasan. Alasan depresi lain adalah karena rasa sedih dan jengkel tanpa alasan. Selain hal tersebut, ibu postpartum juga dapat mengalami depresi karena faktor ekonomi, hal ini karena subjek penelitian ini tergolong keluarga miskin dengan persentase sebanyak 50%. Peranan suami juga penting untuk menentukan pengeluaran ASI (let down reflex) yang sangat dipengaruhi oleh perasaan ibu.

               Sebagian besar ibu postpartum yang diteliti telah melakukan praktik IMD. Hal ini dipengaruhi oleh pelayanan dan perawatan ibu postpartum, contohnya bidan/dokter. Sebagian besar ibu postpartum juga memiliki produksi ASI yang cukup.

               Untuk hubungan antara pengetahuan gizi dengan pola pemberian ASI, pengetahuan ibu postpartum akan pengetahuan gizi sangat mempengaruhi pola pemberian ASI yang dilakukan. Dengan memiliki pengetahuan akan kolostrum dan pemberian makanan terbaik bagi bayi justru cenderung memberikan ASI eksklusif. Namun, tidak hanya karena kedua alasan tersebut ASI eksklusif dapat diberikan, tapi berdasar penelitian Forster et all tahun 2006, alasan lainnya adalah karena keinginan kuat dari sang ibu untuk memberikan ASI dan telah mengkonsumsi ASI saat masih bayi.

               Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan secara tabulasi silang terdapat kecenderungan bahwa semakin rendah keluhan kesehatan ibu postpartum, maka pola pemberian ASI akan lebih baik. Demikian pula semakin baik praktik IMD, produksi ASI semakin cukup, frekuensi dan durasi pemberian ASI, serta pemberian ASI secara eksklusif yang cenderung semakin meningkat. Keluhan kesehatan yang paling sering dialami adalah terkait dengan gangguan pada payudara yang sangat menentukan keberhasilan proses laktasi. Keluhan tersebut adalah puting susu yang lecet dan pembendungan ASI yang masing-masing dialami oleh 50% ibu postpartum. Namun, walaupun dengan keadaan puting yang lecet cenderung tetap melakukan pemberian ASI. Puting susu yang lecet dapat disebabkan karena teknik menyusui yang salah atau perawatan yang tidak benar pada payudara. Dan apabila terjadi pembendungan ASI akan terasa nyeri, sehingga ASI lebih baik dikeluarkan.

               Hubungan antara kondisi psikologis dari ibu postpartum dan pola pemberian ASI tidak menunjukkan kecenderungan korelasi dengan pola pemberian ASI. Ibu postpartum yang menjadi subjek penelitian ini seluruhnya mengalami baby blues syndrome dengan pengalaman bersalin lebih dari satu kali. Sebagian besar ibu tetap melakukan praktek IMD dan memberikan ASI eksklusif walaupun mengalami depresi bahkan kecukupan produksi ASI tergolong cukup. Menurut Yuliastati tahun 2003, menyebutkan bahwa dukungan dari keluarga, teman, terutama pasangan merupakan faktor yang juga penting untuk diperhatikan karena dengan adanya dukungan tersebut dapat memberi dorongan positif bagi ibu menyusui.

               Kesimpulan yang dapat saya ambil adalah, pola pemberian ASI sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, selain dari pengetahuan gizi yang dimiliki oleh ibu postpartum dan kondisi kesehatan ibu postpartum, tetapi juga faktor lingkungan sekitar, mulai dari pelayanan kesehatan, keluarga atau teman terdekat sampai dengan faktor ekonomi. Penanganan kesehatan yang dilakukan dengan baik dapat mengurangi angka kematian ibu (AKI) dan pemberian ASI yang dilakukan secara tepat dan baik juga dapat mengurangi angka kematian neonatal (AKN) atau angka kematian bayi (AKB).

Artikel ini ditulis oleh Natasha Chanellia Intan Putri – 41150046


Baca lebih lanjut di jurnal berikut ini :
Armina Puji Utari, Katrin Roosita, M. Rizal M. Damanik; Pengetahuan Gizi, Keluhan Kesehatan, Kondisi Psikologis, dan Pola Pemberian ASI Ibu Postpartum. Jurnal Gizi dan Pangan November 2013; 8(3): 187-192

Ringkasan Jurnal Gizi oleh Brahmastra Megasakti

Asupan nutrisi yang buruk karena pemberian makan yang tidak baik merupakan faktor resiko utama malnutrisi pada anak-anak usia di bawah 5 tahun. Kausa faktor resiko di Pakistan menunjukkan bahwa konsumsi makanan dengan nutrisi yang rendah menjadi penyebab utama. Praktik tradisional dan kepercayaan sosiokultural menyebabkan tatalaksana dini malnutrisi dan secara signifikan berkontribusi terhadap peningkatan rasio mortalitas anak-anak di bawah 5 tahun. Studi di Turki menunjukkan bahwa pemberian ASI pada bayi perempuan sering kali tidak mencapai target pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan, hal ini berangkat dari persepsi sosiokultural bahwa bayi perempuan tidak memerlukan asupan ASI sebanyak bayi laki-laki karena anak laki-laki harus lebih kuat daripada anak perempuan.


Metode penelitian dilakukan dengan pemberian kuesioner dengan subjek wanita/ibu dengan rentang usia 18 hingga 45 tahun yang memiliki anak usia di bawah 5 tahun. Variabel kunci yang digunakan termasuk pembuatan keputusan, kondisi tempat tinggal, pola pemberian makan, status vaksinasi, dan persepsi sosiokultural. Persepsi sosiokultural dalam komunitas tersebut berangkat pada pembuat keputusan di rumah. Data terbanyak menunjukkan bahwa figur ayah menjadi penentu keputusan lebih besar dari figur ibu. Asupan kolostrum pada bayi juga sering terabaikan karena masih banyak keluarga yang berasumsi bahwa ASI tidak cukup segar dan membahayakan untuk bayi sehingga menggantinya dengan asupan makanan tradisional seperti "ghutti".


Kesimpulan hasil menunjukkan bahwa persepsi sosiokultural masih memiliki pengaruh signifikan pada status gizi anak di bawah usia 5 tahun. Berdasarkan temuan tersebut, kesadaran mengenai malnutrisi sangat perlu ditingkatkan di antara para orangtua, terutama pada wanita pada usia kehamilan; pentingnya antenatal care; diet pada masa kehamilan; pemberian ASI segera pasca lahiran dan ASI eksklusif selama 6 bulan; pentingnya vaksinasi; dan kebersihan lingkungan. 


Khattak UKIqbal SPGhazanfar HRole of sociocultural perceptions in malnutrition of children under the age of 5 years in a semi-urban community of Pakistan.Shifa College of Medicine, Islamabad, Pakistan. 2017. (full text here)


Artikel ini ditulis oleh Brahmastra Megasakti – 41150025

Ringkasan Jurnal Gizi oleh Bagus Anggawaisna

Remaja di Indonesia memiliki tingkat kepahaman tentang menstruasi yang rendah. Berdasarkan Pusat Data dan Informasi dari sebesar 64 juta remaja putri di Indonesia hanya 15,3% yang mengerti tentang masalah gangguan menstruasi. Gangguan menstruasi yang banyak ditemui adalah permasalahan siklus menstruasi. Siklus menstruasi terjadi selama 28 hari sedangkan siklus menstruasi yang normal terjadi sekitar 21-35 hari. Gangguan siklus mentruasi meliputi polimenorrhea (<20 hari), oligomenorrhea (>35 hari), dan amenorrhea (>3 bulan). Perbedaan siklus menstruasi ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya status gizi, asupan makanan, umur, aktivitas fisik, penyakit reproduksi, pengaruh rokok, dan juga stress. Status gizi sangat mempengaruhi kesehatan tubuh manusia dan status gizi juga mempengaruhi siklus menstruasi seseorang. Wanita yang memiliki status gizi yang kurang lebih beresiko mengalami menstruasi yang tidak teratus sebanyak 66,7%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kecukupan gizi makro, status gizi, dan stress dengan siklus menstruasi pada remaja SMA Negeri 21 Jakarta pada tahun 2016.

Populasi yang diambil adalah remaja putri di SMA Negeri 21 Jakarta kelas X dan XI dengan jumlah populasi sebesar 319 orang. Penelitian ini menggunakan teknik proportionate random sampling, yang kemudian dapat diperoleh sampel sebesar 90 orang. Variabel yang diteliti meliputi siklus menstruasi, kecukupan zat gizi makro, status gizi, dan stress. Zat gizi makro meliputi kecukupan karbohidrat, protein, dan lemak. Metode yang dilakukan dengan wawancara dan kemudian data yang didapat dibandingkan serta dirata-rata dengan angka kecukupan gizi (AKG) sesuai dengan usia responden. Asupan gizi dinilai baik apabila memenuhi 80-100% dari AKG dan tidak baik apabila <80% atau >110% dari AKG. Data antropometri diperoleh dengan cara pengukuran berat badan menggunakan timbangan injak Tanita dengan kapasitas 136 kg dan tingkat keakuratan 0,1 kg sementara pengukuran tinggi badan menggunakan microtoise dengan kapasitas 200 cm dan keakuratan 0,1 cm. Data siklus menstruasi diperoleh dari waktu sejak hari pertama menstruasi sampai datangnya menstruasi periode berikutnya. Siklus menstruasi dicatat pada kuesioner menstruasi dilihat berdasarkan 3 bulan terakhir yaitu bulan Maret, April, dan Mei. Setiap responden mengisi tanggal menstruasi saat ini sampai tanggal selesainya menstruasi periode berikutnya hingga diperoleh data 2 siklus menstruasi responden.

Penelitian ini menunjukkan bahwa kecukupan asupan karbohidrat tidak memiliki presentase yang tertinggi yaitu sebesar 83,2% dan sebanyak 61,5% responden  dengan kecukupan karbohidrat yang tidak baik otomatis juga memiliki siklus menstruasi yang tidak normal. Kecukupan asupan protein tidak baik memiliki persentase tertinggi yaitu 65%. Sebagian besar responden dengan kecukupan asupan protein tidak baik mengalami siklus menstruasi tidak normal dengan persentase 53%. Sementara pada kecukupan asupan lemak, presentase tertinggi terdapat pada asupan lemak tidak baik yaitu 56,6% dan rata-rata responden dengan asupan lemak tidak baik mengalami siklus menstruasi tidak normal yaitu 47%. Sebagian besar responden (73,5%) memiliki status gizi normal dan 22% responden mengalami status gizi lebih. Siklus menstruasi tidak normal memiliki persentase yang tinggi pada status gizi normal (43,4%) dan pada status gizi lebih (25,3%). . Sebanyak 71,1% responden mengalami stres dan 57,8% responden yang mengalami stres memiliki siklus menstruasi yang tidak normal.

Informasi yang dapat di ambil dari penelitian yaitu adanya hubungan yang signifikan antara kecukupan asupan protein dengan siklus menstruasi, terdapat risiko sebesar 5,42 kali mengalami gangguan siklus menstruasi pada responden yang memiliki kecukupan asupan protein tidak baik. Kecukupan asupan protein rendah disebabkan oleh pola makan responden yang tidak teratur, sering mengonsumsi hidangan sepinggan yaitu hidangan tersebut mengandung sumber protein yang rendah. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diketahui bahwa kecukupan asupan lemak berhubungan dengan siklus menstruasi. Responden dengan kecukupan asupan lemak tidak baik berisiko 4,88 kali mengalami gangguan siklus menstruasi dibandingkan dengan responden yang memiliki kecukupan asupan lemak baik. Berdasarkan hasil food recall 3x24 jam, sebagian besar responden mengkonsumsi hidangan yang digoreng (50,2%) dan ditumis (49,7%). Kandungan lemak trans pada makanan digoreng dapat mempengaruhi siklus menstruasi.

 Asupan rendah lemak akan menyebabkan tiga efek utama yaitu siklus menstruasi memanjang dan meningkat rata-rata 1,3 hari; lamanya waktu menstruasi meningkat rata-rata 0,5 hari; dan fase folikuler meningkat rata-rata 0,9 hari. Hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh status gizi berhubungan dengan gangguan siklus menstruasi. Pada responden dengan status gizi tidak normal berisiko 14,58 kali mengalami siklus menstruasi tidak normal dibandingkan dengan responden yang memiliki status gizi normal. Gizi lebih pada remaja putri dapat menyebabkan gangguan menstruasi, sedangkan remaja perempuan yang mempunyai status gizi kurus sekali akan mengalami hambatan dengan menstruasinya.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, stres berhubungan dengan gangguan siklus menstruasi. Pada responden yang mengalami stres terdapat risiko 7,27 kali gangguan siklus menstruasi dibandingkan dengan responden yang tidak mengalami stres. Siswi dengan stres tinggi memiliki risiko yang signifikan (1,91 kali) mengalami durasi menstruasi lebih dari 7 hari (25). Berdasarkan hasil wawancara, faktor penyebab stres terbanyak (63,2%) pada responden disebabkan karena adanya school stress.

Pemenuhan kecukupan zat gizi makro, status gizi, dan stress adalah hal yang penting dan memiliki keterkaitan dengan siklus menstruasi remaja. Agar siklus menstruasi dapat berjalan normal, remaja putri harus memperhatikan kecukupan zat gizi dengan memakan makanan yang bergizi seimbang dan juga mengurangi stress dengan mengurangi beban pikiran serta istirahat yang cukup. Remaja juga diharapkan dapat mencatat siklus menstruasi setiap bulannya agar dapat mengetahui siklus menstruasi normal atau tidak. 


Judul jurnal : Kecukupan Zat Gizi Makro, Status Gizi, Stres, dan Siklus Menstruasi pada Remaja
Nama jurnal dan penerbit : Jurnal Gizi Klinik Indonesia (p-ISSN : 1693-900X, e-ISSN : 2502-4140), Program Studi Ilmu Gizi, Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan, Universitas Esa Unggul.
Penulis : Laras Sitoayu, Dewi Ayu Pertiwi, Erry Yudha Mulyani
Tahun Terbit : Januari 2017 Vol.. 13 No. 3 (121-128)

LINK JURNAL :

Artikel ini ditulis oleh Bagus Anggawaisna S - 41150095

Ringkasan Jurnal Gizi oleh Nigel Boeky

Anak yang berkebuthan khusus merupakan anak yang memiliki keterbatasan dalam hal fisik
dan atau mental yang dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan oleh karena itu anak
dalam keaadaan tersebut memerlukan penanganan khusus salah satu yang termasuk dalam
kelompok anak berkebutuhan khusu adalah anak dengan gangguan autistik.
Autistik adalah gangguan perkembangan pervasif yang ditandai dengan kemampuan dalam
berinteraksi sosial berkomunikasi dan berperilaku sesuai dengan perkembangan, anak autis sering
memperlihatkan prilaku seperti hiperaktif, menyakiti diri sendiri, suka bertepuk tangan berulang,
suka mengamung dan tidak mampu menatap lawan bicara, selain itu juga pola konsumsi makanan
merupakan yang harus di perhatikan karena terdapat makanan- makanan yang menjadi pantangan,
dan hal itu juga terkait tentang salah satu diet bagi penderita Autistic Spectrum Disorder (ASD)
berupa diet Gluten Free casein free (GFCF)
Pola makan pada nak terutama anak autis harus mengandung jumlah zat gizi, terutama
karbohidrat, protein dan kalsium yang tinggi guna memenuhi kebutuhan selama masa pertumbuhan
dan perkembangan, ada beberapa makanan yang menimbulkan reaksi alergi pada anak autis seperti
gula, susu, sapi , gandum, coklat, telut, kacang maupun ikan. Selain itu juga konsumsi gluten dan
kasein perlu dihindari karena pada umumnya penderita autis tidak tahan terhadap gluten dan kasein.
Gluten merupakan protein yang bersifat khas yang terdapat pada tepung terigu dan dalam jumlah
kecil dalam tepung serealia lainnnya, sedangkan kafein merupakan protein komplek pada susu yang
mempunyai sifat khas yaitu dapat menggumpal dan membentuk masa kompak.
Pada orang normal gluten dan casein dapat di cerna secara sempurna menjadi asam amino
tunggal sedangkan pada anak autis berlangsung tidak sempurna, pada kebabnyakan pasien autis di
temukan pori – pori tidak lazim pada membran saluran cerna dan hipermeabilitas mukosa usus
sehingga gluten dan kasein hanya terpecah sampai polipeptida dan meningkatkan petide akibat
hipermeabilitas pada mukosa usus. Polipeptida ini tidak tercerna keluar dari dinding usu tetapi
terserap kealiran darah yang kemudian terikat pada reseptor opiod otak (berhubungan dengan mood)
sehinggal meninimbulkan gejala kelainan perilaku pada anak autis.
Peneltian di pusat Terapi Pendidikan Ananda Bekasi (2013) melakukan penilitian yang
menunjukan hubungan yang bermakna antara frekuensi diet bebas gluten bebas kasein dengan skor
perilaku. Pada penilitian tersebut penderita autis yang mengkonsumsi makanan sumber gluten dan
kasein dengan frekuensi yang rendah memiliki perilaku yang lebih terarah di bandingkan penderita
autis yang mengkonsumsi makanan sumber gluten dan kasein dengan frekuensi tinggi.
Baca lebih lanjut di junal berikut ini:
Nurhidayati Z. 2015. Pengaruh Pola Konsumsi Makanan Bebas Gluten Bebas Casein dengan Gangguan Perilaku pada Anak Autistik. Majority Vol.4 No.7 Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

artikel ini ditulis oleh Nigel Boeky - 41150062

Ringkasan Jurnal Gizi oleh Alexander Mahesa

Autism spectrum disorder (ASD) atau yang biasa orang bilang autis merupakan suatu gangguan perkembangan saraf yang biasanya terjadi / didiagnosis pada anak dibawah usia 3 tahun. Kelainan autis ini biasa yang di tandai dengan gangguan dalam melakuan interaksi sosial dengan orang lain. Selain itu biasanya anak autis sangat sering dalam menyendiri dan memiliki kecenderungan terhadap berbagai jenis kegiatan dan kesenangan yang repetitive. Penyebab autism sendiri idiopatik , namun biasanya ada hubungannya dengan genetik. Di Indonesia sendiri menurut data , di tahun 2003 angka kejadian autism mencapai 152 per 10000 anak . Untuk meringankan autism sendiri dapat dilakukan dengan mengatur pola dan pemilihan bahan makanan yang dikonsumsi. Penderita Autism harus menjauhi makanan hasil olahan yang mengadung gluten dan kasien . Gluten sendiri merupakan jenis protein yang terdapat pada gandum , oats , barley dan derivatnya. Sedangkan Kasein , merupakan suatu protein yang terdapat pada susu hewani. Jadi jika penyandang autisme mengkonsumsi makanan dan minuman yang mengandung gluten atau kasein , maka bahan – bahan tersebut akan mengganggu sistem pencernaan mereka dan membuat mereka menjadi menderita.

 

Sebagian besar anak autism di Indonesia mempunyai masalah gizi yaitu mempunyai status gizi yang kurang. Penyebabnya sendiri sebagian besar karena orang tua yang kurang pengetahuan mengenai autism itu sendiri termasuk progam terapi dan asupan nutrisi bagi anak autism . Selain itu hubungan orang tua terhadap anak autism sangat berpegaruh terhadap perilaku dan pertumbuhan anak autism itu sendiri . Orang tua mau tidak mau harus membagi waktu antara karir dengan waktu untuk menemani anak mereka, karena menurut hasil penelitian menunjukan bahwa orang tua yang memiliki anak autism sebagian besar memiliki pekerjaan sebagai ibu rumah tangga. Maka dari itu membesarkan anak autis mempunyai efek yang signifikan terhadap karir orang tua, namun orang tua diharapkan mengerti betul akan kebutuhan anak adalah yang paling utama.

 

Informasi lebih lengkap mengenai jurnal ini dapat dilihat pada :

JURNAL GIZI KLINIK INDONESIA

135 Vol. 8, No. 3, Januari 2012: 135-143

Pengetahuan dan sikap orang tua hubungannya dengan pola konsumsi dan status gizi anak autis

Published by Maria Martiani, Elisabeth Siti Herini, Martalena Br Purba


Artikel ini ditulis oleh Alexander Mahesa - 41150024

Ringkasan Jurnal Gizi oleh Prayana Banjarnahor

Dewasa ini, banyak permasalahan kesehatan dan gizi di Indonesia khususnya pada bayi. Hal ini dibuktikan dengan tingginya prevalensi gizi kurang dan gizi buruk (Berat Badan/Umur) pada balita di Indonesia yakni 17.90% . Volume produksi Air Susu Ibu (ASI) merupakan salah satu faktor yang memengaruhi keberhasilan pemberian ASI eksklusif dimana volume ASI yang diproduksi dipengaruhi oleh asupan gizi yang diperoleh ibu. Kebutuhan zat gizi ibu menyusui lebih besar dibanding ibu hamil yaitu penambahan energi (500 kkal pada enam bulan pertama dan 400 kkal pada bulan selanjutnya), protein (20 gram), dan konsumsi makanan sumber zat besi serta air yang cukup.

Penelitian ini dilakukan untuk melihat efek dari asupan vitamin A dengan volume ASI ibu nifas. Metode yang digunakan adalah cross sec­tional dan melibatkan subjek penelitian sebanyak 30 ibu nifas(umur 20-35 tahun)  di Desa Ciherang, Sukawening, Dramaga, Sinarsari, dan Neglasari, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, pada bulan April hingga Mei 2013.

Dari penelitan ini didapatkan data sebanyak 93.30% subjek pernah mengonsumsi pangan yang mengandung vitamin A yaitu wortel dan bayam selama masa nifas. Rata-rata frekuensi konsumsi wortel lebih tinggi dibanding bayam. Rata-rata frekuensi wortel 2.80±1.20 kali/minggu dengan frekuensi konsumsi terbanyak tujuh kali/minggu, sedangkan rata-rata frekuensi konsumsi sayur bayam 2.50±1.00 kali/ minggu dengan frekuensi konsumsi terbanyak em­pat kali/minggu.  Jenis pangan hewani sumber vitamin A yang dikonsumsi subjek yaitu daging ayam, telur ayam, susu bubuk, dan susu kental manis. Sebanyak 86.70% subjek mengonsumsi daging ayam dengan frekuensi konsumsi 2.00±1.50 kali/minggu. Seluruh subjek dalam penelitian ini sudah mengonsumsi dua kapsul vitamin A. Total asupan vitamin A dari kapsul sebesar 400 000 SI (120 000 RE). Sebanyak 80.00% subjek memi­liki produksi ASI yang cukup bagi bayinya, sisanya (20.00%) kurang. Kecukupan produksi ASI ini dibantu oleh asupan vitamin A.

Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara asupan vitamin A dari pangan yang mengandung vitamin A maupun pangan sumber vitamin A saja dengan produksi ASI. Hal ini berarti semakin tinggi konsumsi pangan sumber vitamin A, maka produksi ASI juga akan semakin tercukupi. Selain itu, konsumsi pangan yang memiliki kandungan Vitamin A sedikit tetapi dikonsumsi dalam jumlah banyak juga dapat mempengaruhi kecukupan produksi ASI. Hal ini karena vitamin A berfungsi dalam membantu produksi steroid. Steroid dan vitamin A berperan merangsang poliferasi epitel alveolus sehingga akan terbentuk alveolus yang baru dan terjadi peningkatan jumlah alveolus dalam kelenjar susu.

 

Informasi Tambahan

Judul Jurnal                 : KAITAN ASUPAN VITAMIN A DENGAN PRODUKSI AIR SUSU IBU (ASI) PADA IBU NIFAS (Association between Vitamin A Intake with Breast Milk Production on Postpartum Mothers)

Nama Jurnal                : Jurnal Gizi dan Pangan, Volume 8, Nomor 2 : 83-88 (ISSN 1978 – 1059)

Penulis                         : Bibi Ahmad Chahyanto dan Katrin Roosita

Tahun Terbit                : Juli 2013

Link                             : http://journal.ipb.ac.id/index.php/jgizipangan/article/view/7685/5952 

 

Artikel ini ditulis oleh Prayana Nessie Laveda Banjarnahor - 41150058

Ringkasan Jurnal Gizi oleh Edwin Timoti

Permasalahn kesehatan di Indonesia sebagai salah satu negara berkembang sangatlah beragam, terutama kekurangan gizi. Menurut Riset Kesehatan Dasar 2010, terjadi penurunan prevalensi gizi kurang dan buruk pada anak bawah lima tahun (Balita). Namun demikian, prevalensi anak pendek (stunted) masih merupakan permasalahan yang penting sebesar 35,7% pada tahun 2010. Jadi kira-kira 1 dari 3 anak usia balita di Indonesia memiliki postur tubuh yang pendek. Disisi lain, terjadi transisi gizi yang menyebabkan perubahan gaya hidup dan kebiasaan makan. Sehingga jumlah anak yang mengalami kelebihan gizi juga meningkat. Pendek dan gemuk merupakan masalah gizi ganda yang menurut World Bank, terjadi di beberapa negara berkembang Asia.
            Banyak hipotesis dan penelitian yang terus dikemukakan oleh para ahli, terutama di negara-negara berkembang Asia-Afrika yang mengalami permasalahan gizi ganda. Salah satu penelitian di Indonesia menggunakan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2010. Sebanyak 2116 sampel data bayi dan anak-anak dibawah usia dua tahun (0-23 bulan) dari seluruh Provinsi di Indonesia digunakan sebagai referensi. Variabel yang ada dalam sample tersebut berupa status gizi anak, karakteristik sosio ekonomi (desa/kota dan tingkat pengeluaran rumah tangga), jumlah anggota rumah tangga, jumlah anak balita, tingkat pengeluaran pangan, karakteristik anak (Usia, jenis kelamin, dan berat lahir), karakteristik orang tua (pendidikan dan pekerjaan ayah dan ibu, status gizi ayah dan ibu), pola pemberian asi, kecukupan energi, protein, lemak, dan karbohidrat. Setelah itu, data yang ada dilakukan pembersihan untuk mengeleminasi data yang tidak lengkap.
            Sample data yang tersedia kemudian diolah dengan mengukur status gizi anak dan orang tua. Dimana status gizi anak diukur dengan mengacu pada standar World Health Organization (WHO). Sedangkan orang tua, diukur menggunakan standar antropometri gabungan dari Indeks Massa Tubuh (IMT).
            Hasil yang dari analisis menunjukan bahwa anak usia dibawah dua tahun (0-23 bulan) di indonesia, sebanyak 19,8 persen mengalami pendek-gemuk. Dimana lebih banyak yang berada di pedesaan (22,7%) dibanding perkotaan (17,7%). Dari status ekonomi memperlihatkan anak pendek-gemuk terjadi di seluruh tingkatan status ekonomi atau hampir merata. Dari segi umur, lebih banyak terjadi pada kelompok umur termuda (0-5 bulan) sebesar 27,8 %, bertambahnya umur semakin rendah proporsi kejadian pendek-gemuk. Konsumsi lemak yang cukup juga memengaruhi proporsi pendek-gemuk dibandingkan asupan lemak yang kurang. Sementara semakin tinggi tingkat pendidikan ibu dan ayah maka semakin sedikit proporsi anak pendek-gemuk. Sekitar 20,4 % ibu dengan pendidikan rendah yang anaknya mengalami pendek gemuk.
            Permasalahan gizi ganda ini menjadi isu penting bagi pemerintah Indonesia, di ketahui bahwa 2 dari 10 anak dibawah 2 tahun mengalami masalah ini. Pendek merupakan indikator dari kekurangan gizi kronis, sedangkan gemuk sebagai indikator kelebihan gizi akut. Singkatnya anak yang mengalami kedua masalah ini (masalah Gizi ganda) adalah anak yang mengalami kekurangan gizi kronik (masa lalu) dan kelebihan gizi pada masa sekarang. Penelitian menunjukan jika terjadi kekurangan gizi pada ibu selama kehamilan memengaruhi terjadinya pendek-gemuk. Jaringan metabolik seperti hipotalamus, terjadi pemrograman ulang akibat kekurangan gizi saat kehamilan ini. Proses yang terjadi di hipotalamus jika terjadi kurang tepat maka akan menghambat kontrol selera makan sehingga dapat terjadi obesitas.
            Hasil analisisi ini menyimpulkan bahwa asupan lemak yang tidak cukup dapat menjadi langkah protektif terjadinya pendek-gemuk pada usia anak dibawah dua tahun. Jadi, anak dengan asupan lemak yang cukup malahan memiliki risiko lebih besar. Selain itu, analisis ini mengemukakan bahwa ibu yang tidak sekolah dan status pendidikan rendah memiliki risiko lebih besar untuk mendapatkan anak pendek-gemuk dibandingkan ibu dengan pendidikan yang lebih tinggi. Disarankan bagi anak yang sidak mengalami kegemukan untuk dapat memulai aktivitas fisik yang lebih sering dalam bentuk olahraga atau permainan.
 
 
Baca Lebih lanjut di jurnal berikut     :
 
 Nur Handayani Utami, Dwi Siska Kumala Putri dan Bunga Ch Rosa; Kejadian Pendek-Gemuk pada Anak Berusia Bawah Dua Tahun Berhubungan dengan Konsumsi Lemak dan Pendidikan Ibu. Jurnal Penelitian Gizi dan Makanan , Vol. 37, No. 1, Jun (2014)
 
 
 
Artikel ini ditulis oleh Edwin Timoti Japanto - 41150059

Ringkasan Jurnal Gizi oleh Tiva Prabowo

 Ringkasan Jurnal Gizi oleh Tiva Prabowo

          Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan populasi mikrobiota saluran cerna antara kelompok anak yang memiliki tinggi badan normal dan anak pendek (stunting) di Sekolah Dasar di Kabupaten Lombok Barat menggunakan desain penelitian comparative. Data penelitian meliputi pengukuran tinggi badan menurut umur dan analisa mikrobiota usus dari contoh feses.

Stunting atau pendek merupakan salah satu masalah di Indonesia mengenai kondisi status gizi berdasarkan indeks tinggi badan menurut umur dengan nilai z-score <-2 standar deviasi dibandingkan dengan populasi standar. Stunting merupakan masalah gizi yang cukup serius karena merupakan penyakit gizi kronis dan memiliki dampak yang negatif seperti menurunkan prestasi belajar. Hal ini dapat disebabkan oleh banyak faktor seperti pendapatan keluarga, pengetahuan gizi ibu, pola asuh ibu, infeksi penyakit, imunisasi, serta asupan gizi yang kurang.

Sanitasi yang buruk akan menyebabkan masalah penyakit dan infeksi di saluran cerna atau yang dinamakan environmental enteric dysfunction dan salah satu penyakit yang timbul akibat sanitasi yang buruk adalah diare. Diare memiliki peranan dalam kejadian stunting, yaitu anak yang mengalami stunting mempunyai episode kejadian diare yang sering.

Diare dikaitkan dengan keadaan mikrobiota di dalam usus manusia. Mikrobiota saluran cerna pada anak berbeda-beda komposisinya tergantung dari status gizinya. Semakin buruk status gizi seorang anak, maka komposisi mikrobiota yang ada di dalam saluran cerna lebih banyak mikrobiota patogen daripada bakteri probiotik. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa anak stunting, mikrobiota saluran cernanya kaya akan bakteri inflammogenic. Komposisi bakteri patogen yang banyak menyebabkan inflamasi dan malabsorbsi zat gizi, sehingga hal inilah yang menyebabkan terjadinya kondisi stunting pada anak.

 

Judul               : Keadaan Mikrobiota Saluran Cerna Pada Anak Sekolah Dasar yang Mengalami Stunting di Lombok Barat

Nama jurnal   : Jurnal Gizi Pangan, Maret 2017, 12(1):55-60

ISSN 1978-1059 EISSN 2407-0920, Terakreditasi SK Menristek Dikti 12/M/Kp/II/2015

Penulis             : Siti Helmyati1*, Endri Yuliati1 , Setyo Utami Wisnusanti2 , Risnhukathulistiwi Maghribi2 , Mohammad Juffrie3. 1) Bagian Gizi Kesehatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 55281, 2) Minat Gizi Kesehatan, Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 55281, 3) Bagian Kesehatan Anak, RSUP Dr. Sardjito / Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 55281

Link                 : http://journal.ipb.ac.id/index.php/jgizipangan/index

 

-          Artikel ini ditulis oleh Tiva Ismadyanti C. P – 41150035

Ikutilah Jalan Orang Baik dan Orang Benar

Sebab itu tempuhlah jalan orang baik, dan peliharalah jalan-jalan orang benar. Amsal 2:20 TB