Kebijakan dalam gizi ? Seperti apa ?
Adakah gunanya buat kita ? Apa sekedar teori saja yang tidak jelas pengaplikasiannya ?
Hal inilah yang terpikirkan dalam benak saya ketika mendengar kebijakan mengenai gizi. Bicara tentang gizi berarti akan akrab dengan yang akan kita hadapi sehari – hari . Apakah tentang makanan ? Ya betul, tapi tidak cuma tentang makanan saja melainkan mengenai semua hal yang terlibat dalamnya sampai dengan masalah seputar gizi. Nah, sekarang kita akan mencari tahu rasa penasaran ini sambil mengerjakan tugas menanyakan kepada beberapa orang berlatar belakang kesehatan via LinkedIn dimana yang menurut mereka kebijakan terkait gizi apa yang sangat mendesak untuk dibuat. Dari pertanyaan yang saya ajukan tersebut akan menjadi menarik karena semua jawaban mengarah ke satu permasalahan yaitu " Double Burden of Nutrition". Apakah kita harus senang atau sedih karena tidak hanya Indonesia saja yang memilki masalah tersebut? Apakah ada solusi buat masalah ini ?
Double burden of nutrition atau beban ganda gizi adalah suatu permasalahan dimana satu sisi masih banyak terdapat kurang gizi namun disisi lain menghadapi masalah berat badan berlebih dan obesitas. Di Indonesia sendiri berdasarkan pada data Riskesdas tahun 2010, didapati prevalensi balita gangguan gizi mencapai 17,9 dimana 4,9 persen gizi buruk dan 13 persen gizi kurang , anak bertubuh pendek (stunting) sekitar 35,6 persen sedangkan kasus gizi lebih dan obesitas sekitar 14,2 persen. Gangguan kurang gizi akan menjadi dampak buruk untuk kedepannya diantaranya menyebabkan gangguan pertumbuhan fisik dan otak anak tidak optimal, anak bertubuh pendek (stunting) dan lain sebagainya. Dan bila hal ini dibiarkan tanpa adanya intervensi baik itu dari pihak pemerintah, kesehatan, dan pihak – pihak lain yang terkait maka dapat mengakibatkan hilangnya potensi dari generasi emas di masa yang akan datang. Sedangkan kelebihan gizi juga akan menjadi pemicu munculnya penyakit seperti kolesterol, diabetes melitus, hipertensi , dan penyakit jantung.
Menurut narasumber LinkedIn saya yang bernama dr. Pranav Trivedi L.I.O.N berasal dari India mengatakan bahwa di India terdapat program perbaikan gizi dan kesehatan di India. Program tersebut adalah ICDS (Integrated Child Development Services Scheme). Program ini difokuskan untuk pelayanan pada anak balita, wanita hamil dan ibu menyusui. Program ini berisi pemberian suplementasi besi, folat, vitamin A, immunisasi pemeliharaan kesehatan dan pendidikan gizi. ICDS menajadi salah satu progam terbesar di dunia dan yang paling unik sebagai program pengembangan anak usia dini. Meskipun digadang sebagai program terkemuka, dr Pranav menegaskan harus tetap ada monitoring dan evaluasi untuk kebijakan ICDS ini apalagi di lapangan masih banyak kekuragannya. Perlu ada peran serta antara masyarakat India dengan pemerintah untuk menyukseskan program ini. Perlu ada usaha untuk menyelesaikan double burden of nutrition ini seperti pemantauan dan pemerataan pelayanan kesehatan di seluruh daerah di India karena masih ada kesenjangan tidak semua orang di India mendapatkan pelayanan kesehatan secara adil.
Sedangkan menurut narasumber dr. Sindhu Almas yang berasal dari Pakistan menyampaikan ada program perbaikan gizi di Pakistan dikenal sebagai IMC ( Integrated Management of Childhood Illnes). Program ini memfokuskan pada praktek pemberian makan tambahan pada anak terutama menyusui. Kegiatan ini meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat melalui petugas kesehatan wanita atau petugas kesehatan masyarakat, pembentukan komite setempat untuk peningkatan partisipasi masyarakat, pembentukan tim peningkatan kualitas, advokasi terhadap semua stake-holder. IMC dianggap masih memiliki banyak kekurangan saat pengaplikasiannya. Dr. Sindhu menegaskan bawah kebijakan tentang gizi sudah ada dari pemerintah dan tenaga kesehatan tapi yang menjadi masalah adalah kesadaran dari masyarakat di kota sendiri. Perlu adanya intervensi untuk mengubah mind-set penduduk kota untuk ikut andil dalam perbaikan gizi ini. Dr. Sindhu menyampaikan program ini malah berhasil di masyarakat yang tinggal di pedesaaan karena dianggap mereka memiliki rasa keingintahuan dan kepedulian yang besar terhadap program – program kesehatan yang ada.
Sedangkan di Indonesia narasumber saya dr. Pinka Cahyati Wibowo dan dr. Yosephine Muliana satu suara terhadap double burden of nutrition perlu kebijakan mendesak untuk mengatasi masalah tersebut. Pemerintah pun seperti kebakaran jenggot terhadap keadaan ini karena jika dibiarkan akan menjadi senjata makan tuan di tahun 2020 – 2030 karena akan ada bonus demografi besar- besaran. Bonus ini diharapkan dapat memberikan keuntungan bagi penduduk Indonesia namun apabila masih ada masalah kesehatan dimana – mana maka mau tidak mau perlu ada pengalihan uang bagi pengobatan kalangan masyarakat sakit baik itu balita, wanita hamil, dan lansia.
Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), ada beberapa faktor penyebab gizi buruk pada balita diantaranya keluarga miskin, ketidaktahuan orang tua terhadap pemberian gizi yang baik bagi anak, dan penyakit bawaan pada anak berupa jantung, tuberkulosis, HIV/AIDS, saluran pernapasan, dan diare. Maraknya makanan seperti junk food juga ikut berperan dalam pemenuhan gizi. Komposisi gizi yang tidak seimbang pada junk food dapat menyebabkan obesitas dan berdampak pada kesehatan anak dan tentunya dapat menggangu kognitif anak.
Lembaga kesehatan merupakan ujung tombak dalam pelaksanaan kebijakan ini. Kebijakan ini akan semakin baik apabila lembaga kesehatan bekerja sama dengan lintas sektor lainnya. Kemenkes mengupayakan berbagai cara untuk dapat mengatasi masalah ini. Diantaranya dengan menetapkan hari Gizi Nasional pada 25 Januari dan hari Anak Nasional pada 23 Juli guna meningkatkan pengetahuan, kesadaran, dan kepedulian bagi masyarakat.
Adapun kebijakan dari pemerintah bersama dengan lembaga kesehatan dan sektor lainnya berupa inisiatif baru dalam bentuk suatu gerakan yang difokuskan pada "Percepatan Perbaikan Gizi pada 1000 Hari Pertama Kehidupan atau Scaling Up Nutrition (SUN)". Percepatan gizi ini menyangkut gizi yang baik bagi ibu hamil, pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan disertai MPASI hingga usia 2 tahun. Gerakan ini mengintegrasikan intervensi langsung dan intervensi tidak langsung yang diselenggarakan oleh berbagai sektor pembangunan. Masalah yang kompleks ini perlu kesadaran dan kepedulian dari setiap elemen masyarakat sendiri untuk mewujudkan cita – cita Indonesia sehat.
Kebijakan kedua berupa Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS). Germas berfokus pada tiga aktifitas utama yaitu memeriksa kesehatan secara rutin, melakukan akitivitas fisik, dan mengkonsumsi sayur dan buah setiap hari. Germas ini merupakan tindak lanjut dari program Gizi Seimbang dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) yang digalangkan sebelumnya. Berdasarkan data Riskedas 2013, menyebutkan sekitar 93,5 persen penduduk usia > 10 tahun mengkonsumsi sayur dan buah di bawah anjuran. Dimana WHO telah menganjurkan konsumsi sayur dan buah untuk hidup sehat bagi balita dan anak sekolah berupa 400 gram per orang per hari, yang terdiri dari 250 gram sayur dan 150 gram buah.
Kebijakan ketiga adalah peningkatan preventif dan promosi kesehatan kepada masyarakat. Edukasi gizi terhadap masyarakat terutama ibu dan anak. Mulai dari edukasi gizi secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung dapat melalui penyuluhan pada ibu-ibu PKK, posyandu, dan anak di tingkat sekolah. Sedangkan untuk edukasi yang tidak langsung adalah dengan adanya buku bacaan, selebaran atau poster, dan media massa.
Kebijakan lainnya adalah kerja sama lintas sektoral dimana pemerintah berusaha menemukan inovasi baru untuk meningkatkan gizi dengan fortifikasi bahan makanan. Hasil fortifikasi berupa garam beriodium, beras beriodum, fortifkasi besi pada terigu, fortifikasi vitamin A, dan fortifikasi pada hasil ternak. Makanan yang dikonsumsi masyarakat menengah kebawah merupakan makanan dengan standar gizi rendah. Peningkatan gizi melalui fortifikasi sangat dibutuhkan dalam masyarakat.
Lembaga kesehatan bersama dengan pemerintah akan terus berupaya mengurangi dan mengatasi setiap masalah yang ada pada masyarakat. Pemerintah harus selalu siap dengan perubahan yang tidak terkondisi. Persiapan matang dan kerja sama lintas sektor perlu dilakukan dengan baik sehingga apabila datang masalah maka dapat diatasi bersama- sama dan bukan mencari kambing hitam.
Adapun kebijakan yang menurut saya sendiri perlu diadakan kedepannya karena perlu untuk dibahas.
Pertama adalah kehadiran tenaga kesehatan yang peduli gizi pada daerah terpencil sehingga gizi dan pengetahuan masyarakat tersebut tidak tertinggal. Peran pemerintah sangatlah penting dalam hal ini. Ketersediaan sarana dan prasarana yang menunjang melalui wadah aspirasi atau monitoring terhadap masyarakat yang nantinya dapat dilaporkan ke pusat untuk ditindaklanjuti.
Kedua adalah strategi memodifikasi tampilan dalam penyajian makanan. Hal ini dibutuhkan karena anak kecil sangat tertarik untuk mengkonsumsi makanan sehat melalui tampilan makanan yang unik. Peran serta keluarga sangat dibutuhkan apalagi ibu. Ibu dapat membuatkan sarapan ataupun makanan dengan bentuk yang beraneka ragam untuk meningkatan rasa penasaran anak.
Demikianlah tulisan saya mengenai kebijakan gizi yang mendesak perlu untuk segera mendapat tindak lanjut. Perlu kita sadari bahwa masalah di Indonesia ataupun negara – negara lain begitu kompleks dan meskipun masalah yang ada Indonesia juga dialami oleh negara lain kita sebagai tenaga kesehatan dan masyarakat tidak boleh membiarkan hal ini terjadi terus menerus. Kesadaran dan kemauan akan suatu perubahan ke arah yang lebih baik adalah kunci dari perbaikan gizi menuju Indonesia Sehat.
Terima kasih saya ucapkan kepada narasumber saya :
dr. Pinka Cahyati Wibowo
dr. Yosephine Muliana
dr. Pranav Trivedi L.I.O.N
dr. Sindhu Almas
Artikel ini ditulis oleh Wenly Susanto
No comments:
Post a Comment