Monday, August 28, 2017

Ringkasan Jurnal Gizi oleh Fransisca Evelyna

Masalah gizi lebih atau obesitas merupakan salah satu masalah kesehatan global, yang dikenal dengan new world syndrome yang dapat menimbulkan berbagai masalah kesehatan, kecacatan maupun masalah finansial secara global.Di Indonesia, Riset kesehatan dasar (Riskesdas) melaporkan bahwa terjadi peningkatan prevalensi obesitas pada anak di Indonesia pada tahun 2013. Kelompok anak usia 6-12 tahun terjadi peningkatan dari 9,2% menjadi 18,8%, kelompok anak usia 13-15 tahun terjadi peningkatan dari 2,5% menjadi 10,8% , dan kelompok anak usia 16-18 tahun terjadi peningkatan dari 1,4% menjadi 7,3%.Obesitas dapat terjadi pada berbagai usia, termasuk pada remaja.
Salah satu faktor berperan dalam terjadinya obesitas adalah faktor psikologi. Jumlah asupan makanan yang berlebihan bisa merupakan respon dari perasaan kesepian, dukacita atau depresi. Pada orang-orang tertentu, makan berlebihan dapat terjadi sebagai respon dari suatu perasaan stres, depresi atau cemas. Hal ini apabila dibiarkan akan beresiko untuk menjadi obesitas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi stres yang dialami seseorang, semakin tinggi pula tingkatan indikator status gizinya. Di sisi lain, obesitas juga dapat mempengaruhi faktor kejiwaan seorang anak seperti merasa kurang percaya diri. Hal ini lebih terlihat pada anak usia remaja, biasanya akan menjadi pasif dan depresi dan cenderung tidak mampu bersosialisasi dengan teman sebayanya.
Dalam penelitian ini, ditemukan sebesar 17,4% remaja di Pekanbaru mengalami depresi dan ditemukan bahwa perempuan lebih banyak mengalami depresi dibandingkan laki-laki. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu perempuan kurang asertif dan cenderung memiliki skor yang lebih rendah dalam hal kemampuan kepemimpinan daripada anak laki-laki, anak perempuan lebih sering menggunakan coping ruminatif dibanding anak laki-laki ( lebih memusatkan perhatiannya pada simptom-simptom depresi yang dialaminya). Sebaliknya, anak laki-laki cenderung mengalihkannya pada beberapa aktivitas fisik seperti menonton televisi, berperilaku agresif. Di samping itu, anak perempuan kurang dominan, kurang agresif baik secara fisik maupun verbal dalam berinteraksi dengan kelompoknya.

Kecemasan atau ansietas merupakan bentuk gangguan psikologi yang cukup banyak ditemukan pada remaja di salah satu SMA Negeri di Surakarta menunjukkan hasil sebanyak 60% responden mengalami gangguan kecemasan atau ansietas. Gangguan kecemasan ini biasanya timbul karena perkembangan tidak tepat serta kekhawatiran yang berlebihan. Jenis kecemasan pada remaja dan anak usia sekolah secara signifikan dapat mengganggu kegiatan harian dan tugas-tugas perkembangan. Dalam penelitian ini, pelajar perempuan yang mengalami ansietas lebih banyak dibandingkan pelajar laki-laki. Jenis kelamin kadang berpengaruh dalam menentukan pertahanan diri seseorang terhadap kecemasan. Fobia sosial lebih banyak ditemukan pada laki-laki sedangkan pada fobia yang sederhana, gangguan menghindar dan agoraphobia lebih banyak ditemukan pada remaja perempuan. Sementara cemas perpisahan, gangguan cemas menyeluruh, dan gangguan panik didapatkan pada kedua jenis kelamin.
Gangguan stres pada penelitian ini ditemukan juga lebih banyak pada pelajar perempuan (41,0%) dibandingkan laki-laki (28,8%). Sumber stres pada remaja laki-laki dan perempuan pada umumnya sama, hanya saja remaja perempuan sering merasa cemas ketika sedang menghadapi masalah sedangkan pada remaja laki-laki cenderung lebih berperilaku agresif. Remaja laki-laki yang mengalami stres akan melakukan perbuatan negatif seperti mengonsumsi rokok dan alkohol. Kemungkinan faktor tersebut yang menyebabkan stres pada perempuan lebih banyak jika dibandingkan dengan laki-laki.
Hasil analisis menunjukkan adanya hubungan yang bermakna secara statistik antara depresi dan stres dengan status gizi responden (p=0,003). Penelitian yang dilakukan di Minnesota terhadap 553 remaja dengan obesitas menunjukkan hal yang serupa, yaitu depresi yang dialami oleh responden dengan obesitas tersebut berhubungan dengan status gizinya. Adanya ketidakpercayaan diri yang dialami oleh remaja dengan obesitas akan pencitraan tubuhnya membuat mereka cenderung menarik diri dan menjadi depresi. Hasil penelitian yang dilakukan di SMU Methodist-8 Medan juga menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara stres dengan status gizi, yaitu semakin tinggi skor stres seseorang semakin tinggi tingkatan status gizinya. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh American Psychology Association tahun 2013, sebesar 37% dari remaja yang makan berlebihan atau makan makanan yang tidak sehat karena stres menyatakan bahwa hal tersebut adalah kebiasaan. Sementara sebesar 33% remaja menyatakan mereka melakukannya karena membantu mengalihkan perhatian mereka dari apa yang menyebabkan mereka stres dan hampir seperempat dari remaja melaporkan makan untuk mengelola stres .
Saat tubuh kita mengalami stres yang merupakan suatu ancaman dalam diri kita, seperti orang yang takut kegemukan dan selalu mengkhawatirkan berat badannya, justru memicu kelenjar adrenal melepaskan kortisol lebih banyak sebagai respon alami tubuh terhadap stres. Tingginya kadar hormon kortisol akan merangsang tubuh untuk mengeluarkan hormon insulin, leptin, dan sistem neuropeptide Y (NPY) yang akan membuat otak membangkitkan rasa lapar sehingga timbul keinginan makan, pemilihan jenis makanan tinggi gula dan lemak, serta menimbulkan motivasi untuk mencari makanan berkalori tinggi yang menenangkan dan menyimpan kalori ekstra sebagai lemak di bagian perut. 
Pada penelitian ini tidak menunjukkan adanya hubungan bermakna antara ansietas dengan kejadian obesitas (p=0,273). Hasil penelitian tidak sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa kecemasan memiliki kontribusi yang besar dalam menentukan asupan makan dan zat gizi. Namun, perlu disadari bahwa penyebab terjadinya obesitas tidak hanya faktor psikologi. Jumlah asupan zat gizi dan aktivitas fisik juga merupakan faktor risiko yang berkontribusi besar terhadap kejadian obesitas.
Faktor psikologi ini hanya merupakan salah satu faktor risiko pemicu terjadinya obesitas pada anak usia sekolah sehingga masih perlu diteliti lebih lanjut faktor-faktor risiko lain yang dapat menyebabkan tingginya angka kejadian obesitas pada remaja di Pekanbaru. Dengan demikian, diharapkan angka kejadian obesitas pada anak usia sekolah dapat ditekan dan risiko munculnya gangguan akibat obesitas pada usia dini itu dapat dicegah.


 Baca lebih lanjut di jurnal berikut :

 Huriatul Masdar, Pragita Ayu Saputri, Dani Rosdiana, Fifia Chandra, Darmawi; 
 Depresi, ansietas, dan stres serta hubungannya dengan obesitas pada remaja ( Relationship of depression, anxiety and stress with obesity in adolescent ). Jurnal Gizi Klinik Indonesia 2016; 12(4): 138-143;ISSN 1693-900X (Print); ISSN 2502-4140 (Online). doi: 23021-46394-1-PB ( Tersedia online sejak Januari 2016 di  HYPERLINK "https://jurnal.ugm.ac.id/jgki" https://jurnal.ugm.ac.id/jgki ).


Artikel ini ditulis oleh Fransisca Evelyna - 41150008

No comments:

Post a Comment

Ikutilah Jalan Orang Baik dan Orang Benar

Sebab itu tempuhlah jalan orang baik, dan peliharalah jalan-jalan orang benar. Amsal 2:20 TB