Makanan cepat saji atau yang disebut juga fast food merupakan makanan yang sangat nikmat di lidah, selain memberikan sensasi rasa enak juga memberikan kemudahan bagi sebagian besar orang karena waktu penyajian yang relatif singkat, bahkan dibeberapa gerai penjualan makanan cepat saji, konsumen hanya tinggal memilih makanan yang diinginkan dan dapat dengan segera menyantap makanan yang dipesan. Dikutip dari Strategi Nasional Penerapan Pola Konsumsi dan Aktivitas Fisik tahun 2011 oleh Menteri Kesehatan, makanan cepat saji adalah makanan yang dapat diolah dan dihidangkan atau disajikan dengan cepat oleh pengusaha jasa boga, rumah makan, dan restoran. Beberapa bentuk makanan cepat saji yang beredar di masyarakat antara lain mie instan, fried chicken, burger, kentang goreng, pecel, gado-gado, lotek, dll.
Kenapa ada pecel, gado-gado, dan lotek? Apakah itu termasuk makanan cepat saji? Jawabannya adalah Ya. Tentu saja beberapa contoh makanan tersebut adalah makanan cepat saji, akan tetapi yang akan dibahas dalam artikel ini adalah yang berkaitan dengan makanan sampah.
Makanan sampah? Makanan sampah atau yang dikenal dengan Junk Food, adalah makanan yang mempunyai kandungan gula, garam dan lemak yang sangat tinggi namun tidak diimbangi dengan kandungan nutrisi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh seperti serat, mineral dan vitamin. Tingginya kandungan gula, garam dan lemak pada makanan "Fast Food yang bersifat Junk Food" menjadi salah satu faktor resiko meningkatnya angka kejadian penyakit tidak menular seperti serangan jantung, stroke, hipertensi, kanker, dan diabetes. Data dari WHO tahun 2017, menjelaskan bahwa penyakit tidak menular membunuh 40 juta orang setiap tahunnya dengan 15 juta diantaranya meninggal pada rentang usia 30 sampai dengan 69 tahun.
Seperti yang disampaikan oleh dokter Peter Del Fante dari Adelaide University, Australia mengungkapkan bahwa "usia diatas 30 merupakan rentang usia bagi kebanyakan orang yang memiliki segudang kesibukan dan sangat produktif, membuatnya tidak memiliki cukup waktu untuk memasak makanan ataupun menyiapkan makanan sehingga lebih memilih untuk mengkonsumsi makanan cepat saji"
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan bergesernya pola konsumsi masyarakat ke makanan cepat saji mengakibatkan empat faktor resiko metabolik utama yang meningkatkan angka kejadian penyakit tidak menular, antara lain: peningkatan tekanan darah, obesitas, hiperglikemi dan hyperlipidemia.
Negara berkembang seperti Indonesia, dalam beberapa dasawarsa terakhir menunjukkan adanya kecenderungan yang semakin meningkat dari waktu ke waktu terhadap angka kejadian penyakit tidak menular, dikutip dari riset kesehatan dasar tahun 2013. Menurut dokter Vicarna CEO TelDok-Health in One Touch selain rendahnya tingkat aktivitas fisik, pola makan yang tidak sehat sangat mempengaruhi tingginya angka kejadian penyakit tidak menular di Indonesia terutama yang berasal dari makanan cepat saji. Menurutnya tren di Indonesia saat ini dengan beragamnya produk makanan cepat saji dan ide-ide iklan yang menarik memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap keinginan masyarakat untuk mengkonsumsi makanan cepat saji. Selain itu, kemudahan untuk menjangkau gerai-gerai makanan maupun restoran cepat saji yang berada disekitar masyarakat juga ikut ambil bagian.
Dalam upaya menurunkan kejadian empat faktor resiko utama yaitu peningkatan tekanan darah, obesitas, hiperglikemi dan hiperlipidemia, perlu adanya upaya dari berbagai pihak tidak hanya kesadaran dari masyarakat sebagai konsumen dan upaya pelayanan kesehatan dari tenaga kesehatan, tetapi juga dari pemerintah bidang kesehatan berupa penyusunan beberapa kebijakan terhadap makanan cepat saji.
Pertama, memberikan batasan jumlah gerai makanan cepat saji yang dinilai memberikan kandungan nutrisi yang tidak mencukupi pada masing-masing wilayah. Menurut Pande Gede seorang pakar gizi dari Universitas Gadjah Mada, jumlah gerai makanan cepat saji yang berada di Indonesia sangat tidak terkontrol. Hampir setiap wilayah terdapat gerai makanan seperti fried chicken, dan burger. Sehingga perlu adanya batasan jumlah gerai makanan cepat saji supaya tidak terjadi penambahan jumlah yang berlebihan. Walaupun akan mengurangi pendapatan daerah, tetapi mengurangi kualitas kesehatan jauh lebih merugikan.
Kedua, mencantumkan kandungan gula, garam dan lemak pada setiap kemasan makanan cepat saji dengan ukuran yang mudah dibaca oleh konsumen. Menurut dokter Shrutin Ulman dari India, seorang Leader Clinical Affairs menuturkan bahwa di negaranya tidak seluruh kemasan makanan cepat saji menampilkan kandungan gula, garam dan lemak yang mudah dibaca oleh konsumen. Beliau menemukan begitu kecilnya ukuran dan tulisan dalam penjelasan kajian gizi disetiap kemasan. Dengan mudahnya dibaca oleh konsumen, dapat membuat keinginan untuk mengkonsumsi makanan tersebut menjadi berkurang.
Ketiga, melampirkan pesan kesehatan pada kemasan makanan cepat saji, gerai atau restoran makanan cepat saji. Sampai saat ini belum ditemukan adanya pesan kesehatan yang dicantumkan pada makanan cepat saji. Pesan kesehatan hanya dapat ditemukan pada produk tembakau, yaitu rokok. Pesan kesehatan pada makanan cepat saji dapat berupa tulisan maupun gambar mengenai dampak yang diakibatkan dari makanan cepat saji.
Keempat, memberi batasan iklan makanan cepat saji pada media massa. Televisi, koran, dan radio menampilkan iklan makanan cepat saji yang begitu menarik, membuat anak-anak akan semakin ingin mengkonsumsi makanan yang di iklankan. Memang dampak tidak langsung dirasakan, akan tetapi karena sifat dari penyakit tersebut bagaikan bom waktu, lama kelamaan akan timbul berbagai kondisi yang menjadi faktor resiko metabolik utama, yaitu obesitas.
Keempat kebijakan tersebut dirasakan sangat mendesak untuk segera disusun dan diaplikasikan ke masyarakat karena sifat dari penyakit tidak menular yaitu progresif dan bagaikan bom waktu. Diharapkan dengan adanya kebijakan tersebut, empat faktor metabolik utama tersebut dapat dicegah dan meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat.
Narasumber,
1. dr. Peter Del Fante. General Practitioner & Public Health Physician, Adelaide University, Australia.
2. Pande Gede Denika Yudi Putra, S.Gz . Sarjana Ilmu Gizi Universitas Gadjah Mada, Indonesia.
3. dr. Shrutin Ulman. Leader clinical affairs, India
4. dr. Vicarna Yasier. CEO TelDok-Health in One Touch dari Universitas Airlangga, Indonesia
Artikel ini ditulis oleh : Made Bayu Prasetia Mulia
No comments:
Post a Comment