Indonesia saat ini sedang mengalami suatu beban ganda akibat transisi epidemiologi. Bustan (2012) menggambarkan transisi epidemiologi sebagai perubahan distribusi dan faktor – faktor penyebab yang melahirkan masalah epidemiologi baru yang ditandai dengan perubahan pola frekuensi penyakit. Hal ini mengakibatkan bergesernya perhatian masalah kesehatan yang awalnya penyakit menular menjadi penyakit tidak menular. Beban ganda yang dihadapi Indonesia yaitu banyaknya penyakit infeksi atau penyakit menular dan meningkatnya masalah penyakit tidak menular atau PTM. Penyakit infeksi atau penyakit menular yang masih memerlukan penanganan seperti demam berdarah dengue, leptospirosis, tuberkulosis, diare dan lain – lain. Di sisi lain, meningkatnya penyakit tidak menular merupakan masalah yang perlu diperhatikan. Penyakit tidak menular yang memerlukan perhatian khusus yaitu penyakit jantung dan pembuluh darah, obesitas, diabetes mellitus atau DM, penyakit paru kronis, dan kanker terutama kanker cervix dan payudara.
Riset Kesehatan Dasar atau Riskesdas memaparkan terdapat peningkatan yang signifikan untuk beberapa PTM. Terjadi peningkatan prevalensi hipertensi dari 7,6 pada tahun 2007 menjadi 9,5 pada tahun 2013, sedangkan stroke meningkat menjadi 1,2 pada tahun 2013 dan 0,8 pada tahun 2007, sedangkan untuk DM terlihat meningkat dua kali lipat yaitu 1,1 pada tahun 2007 menjadi 2,4 pada tahun 2013 ( Riskesdas 2007 & Riskesdas 2013 )
Menurut Menkes dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, Dr.PH dalam keynote Speech Seminar Nasional Pangan dan Gizi tahun 2012 yang diselenggarakan organisasi Pergizi, di Jakarta " Permasalahan gizi merupakan salah satu permasalahan yang dialami oleh seluruh dunia, salah satunya Indonesia". Perserikatan Bangsa Bangsa atau PBB gencar menyerukan mengenai perbaikan gizi setiap negara harus terbukti efektif dari segi biaya, mengutamakan kerjasama lintas sektor ( baik pemerintah maupun non pemerintah atau swasta ), dan terfokus pada 1.000 hari pertama kehidupan yaitu dimulai dari janin dalam kandungan hingga anak berusia 2 tahun.
Kekurangan gizi merupakan masalah yang sedang di hadapi Indonesia, namun masalah stunting atau pendek pada anak balita juga patut untuk di perhatikan. Riset kesehatan dasar 2013 mencatat kejadian stunting Indonesia mencapai 37,2 % , meningkat dari tahun 2010 sebesar 35,6 % dan 2007 sebesar 36,8 %. Hal ini memiliki arti pertumbuhan tidak maksimal diderita oleh sekitar 8,9 juta anak Indonesia atau satu dari tiga anak Indonesia. Prevalensi stunting di Indonesia lebih tinggi daripada negara-negara lain di Asia Tenggara, seperti Myanmar ( 35 % ), Vietnam ( 23 % ), dan Thailand ( 16 % ). ( MCA, 2013 ). Persentase tertinggi kejadian status gizi balita pendek di Indonesia pada tahun 2013 adalah di Provinsi Nusa Tenggara Timur ( 51,7 % ), Sulawesi Barat ( 48,0 % ) dan Nusa Tenggara Barat ( 45,3 % ), sedangkan persentase terendah adalah Provinsi Kepulauan Riau ( 26,3 % ), Di Yogyakarta ( 27,2 % ) dan DKI Jakarta ( 27,5 % ). ( KEMENKES, 2016 )
Permasalah gizi terikat erat dengan masalah gizi dan kesehatan ibu hamil dan menyusui, bayi yang baru lahir dan anak usia di bawah dua tahun. Apabila dihitung dari sejak hari pertama kehamilan, kelahiran bayi sampai anak usia 2 tahun, maka periode ini merupakan periode 1000 hari pertama kehidupan manusia. Pada periode ini telah terbukti secara ilmiah merupakan periode yang menentukan kualitas kehidupan, oleh karena itu pada periode ini disebut sebagai periode emas, periode kritis. Periode emas ini perlu dilakukan perhatian dengan melakukan berbagai upaya perbaikan gizi. Perbaikan gizi merupakan upaya pemenuhan kebutuhan zat – zat gizi yang kurang pada penderita gizi buruk maupun yang lain, yang bertujuan agar zat – zat gizi dalam tubuh tercukupi dan dapat mencapai berat badan normal. Perbaikan gizi menjadi salah satu dari upaya pemerintah dalam peningkatan derajat kesehatan masyarakat.
Peran pemerintah daerah untuk meningkatkan kesehatan masyarakat melalui perbaikan gizi telah di jalankan di Provinsi Sumatera Selatan, lebih tepatnya daerah Musi Rawas. Pemerintah daerah telah menetapkan suatu Peraturan Bupati Musi Rawas Nomor 34 Tahun 2015 tentang upaya perbaikan gizi masyarakat. Upaya perbaikan gizi masyarakat adalah upaya bersama antara pemerintah dan masyarakat melalui penggalangan partisipasi dan kepedulian pemangku kepentingan secara terencana dan terkoordinasi untuk upaya perbaikan gizi masyarakat prioritas pada seribu hari pertama kehidupan.
Yang terkandung pada Peraturan Bupati Musi Rawas Nomor 34 tahun 2015 adalah
· BAB 1 yaitu ketentuan umum yang menjelaskan mengenai definisi operasional.
· BAB 2 yaitu tujuan yang menjelaskan tujuan umum serta tujuan khusus dalam upaya perbaikan gizi masyarakat.
· BAB 3 yaitu strategi, sasaran, kegiatan dan pelaksanaan.
· BAB 4 yaitu gugus tugas upaya perbaikan gizi yang menjelaskan tugas – tugas dalam rangka menjalankan upaya perbaikan gizi.
· BAB 5 yaitu pendanaan yang menjelaskan sumber dana.
· BAB 6 yaitu ketentuan penutup yang berisikan penetapan peraturan bupati tersebut.
Berdasarkan Peraturan Bupati Musi Rawas Nomor 34 tahun 2015 maka dapat dilakukan analisis kebijakan menggunakan pendekatan segitiga kebijakan. Analisis tersebut meliputi 3 hal, yaitu konteks, aktor dan proses.
Konteks
Konteks yang terdapat pada Peraturan Bupati Musi Rawas Nomor 34 tahun 2015 yaitu Provinsi Sumatra Selatan telah dilanda tingginya angka berat badan bayi lahir rendah pada bayi. Menurut Seksi Bindal Kesehatan Rujukan Dinkes Prov Sumsel pada tahun 2010 jumlah bayi BBLR berada di angka 220 sedangkan pada tahun 2011 angka bayi BBLR meningkat hingga angka 1366. Untuk presentase gizi kurang pada daerah Musi Rawas pada tahun 2011 yaitu 2,75 sedangkan pada tahun 2012 kejadiann gizi kurang meningkat yaitu 7,95. Selain itu cakupan pemberian vitamin A pada balita di Musi Rawas pada tahun 2010 sebesar 82,84, hal ini menurun pada tahun 2011 yaitu 62,74 ( Profil Kesehatan, 2012 ).
Dengan disusunnya Peraturan Bupati Musi Rawas Nomor 34 Tahun 2015 agar dapat meningkatkan derajat kesehatan perorangan dan masyarakat. Menilik dari tingginya kasus berkaitan dengan gizi diharapkan peraturan ini dapat meningkatkan kualitas gizi. Selain itu berdasarkan tujuan pada Peraturan Bupati Musi Rawas Nomor 34 Tahun 2015 perbaikan gizi masyarakat adalah untuk percepatan perbaikan gizi masyarakat prioritas seribu hari pertama kehidupan dan sampai anak berusia 5 tahun.
Selain itu Strategi utama upaya perbaikan gizi meliputi menjadikan perbaikan gizi sebagai arus utama pembangunan sumber daya manusia, peningkatan kapasitas dan kompentensi sumber daya manusia di semua sektor baik pemerintah maupun swasta, peningkatan intervensi berbasis bukti yang efektif pada berbagai tatanan yang ada di masyarakat; dan peningkatan partisipasi masyarakat untuk penerapan norma-norma sosial yang mendukung prilaku sadar gizi.
Aktor
Yang menjadi aktor merupakan para perumus dan pemangku kebijakan perbaikan gizi masyarakat. Yang terbagi menjadi pelaku individu dan organisasi yaitu
Individu berupa
· Bupati/Walikota
· Kepala Dinas Kesehatan
· Tenaga Gizi
· Individu anggota masyarakat
Organisasi berupa
· Organisasi masyarakat atau LSM
· Organisasi Profesi ( Tenaga Gizi dan tenaga lainnya )
· Pemerintah ( Pemerintah berperan sebagai inisiator dan fasilitator. Pemerintah disini meliputi pemerintah daerah dan pemerintah pusat )
· Dinas Kesehatan
· Dinas terkait lainnya.
Proses
Pembentukan peraturan daerah ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679). Peraturan perundang – undangan pada dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan.
Di Provinsi Sumatera Selatan diawali dengan penyusunan rancangan naskah atau bisa disebut rancangan kebijakan berdasarkan masalah yang ada. Setelah menyusun rancangan kebijakan, kemudian menyelenggarakan diskusi publik untuk mengevaluasi rancangan kebijakan. Selanjutnya Tim penyusun rancangan kebijakan menyempurnakan dan menetapkan rancangan kebijakan akhir untuk diserahkan kepada pemerintah daerah atau DPRD untuk dibahas yang kemudian disahkan menjadi peraturan
Pelaksanaan kebijakan ini idealnya diberlakukan pada 6 November 2015 setelah tanggal diundangkan. Pelaksanaan kebijakan ini perlu dimonitor dan dievaluasi berdasarkan indikator indikator keberhasilan. Evaluasi pelaksanaan kegiatan – kegiatan tertuang dalam laporan tahunan yaitu laporan Tahunan.
Daftar Pustaka
· Profil Kesehatan Provinsi Sumatera Selatan tahun 2012
· Peraturan Bupati Musi Rawas Nomor 34 Tahun 2015 Tentang Upaya Perbaikan Gizi Masyarakat
· Bustan, Nadjib. Pengantar Epidemiologi. 2012. Jakarta
· Riset kesehatan dasar tahun 2013. Badan penelitian dan pengembangan kesehatan kementerian kesehatan RI
· http://www.mca-indonesia.go.id/assets/uploads/media/pdf/MCAIndonesia-Technical-Brief-Stunting-ID.pdf
· Infodatin : Situasi balita pendek. 2016. Kemenkes RI
Artikel ini ditulis oleh Stevan Arta Risajaya.
Baca juga:
No comments:
Post a Comment