Anemia merupakan salah satu masalah gizi yang umum di negara berkembang, termasuk Indonesia. Fortifikasi makanan merupakan solusi perbaikan gizi, dan salah satu alternatif bahan pangan yang dapat difortifikasi adalah tempe kedele. Tempe memungkinkan sebagai alternatif makanan untuk difortifikasi dengan zat besi, karena tempe sebagai sumber protein, sedangkan protein dan zat besi diperlukan dalam pembentukan kadar hemoglobin. Menurut Astuti (1996), protein tempe tergolong mudah dicerna sehingga protein dapat digunakan untuk membentuk hemoglobin bersama dengan besi atau senyawa lain.
Penambahan atau fortifikasi zat besi pada tempe dilakukan untuk meningkatkan kadar zat besi dalam upaya penanggulangan anemia defisiensi besi khususnya pada remaja di daerah pedesaan. Pengertian fortifkasi adalah penambahan satu atau lebih mikronutrien pada pangan tertentu, untuk meningkatkan intake mikronutrien dalam rangka mencegah defisiensi dan meningkatkan kesehan ( WHO,2006 dan Hurrel & Egli, 2007). Pada penelitian, penambahan vitamin A pada tempe ditemukan adanya perubahan kadar vitamin A. Secara teoritis, vitamin A yang ditambahkan dalam 1 kg kedele basah adalah 12 mg axerophthali acetat yang setara dengan 660 IU per 100 gram tempe. Pada tempe mentah setelah difortifkasi vitamin A dan besi kandungannya adalah 2456,0 IU dan pada tempe yang difortifikasi besi dan vitamin A adalah 2562,9 IU. Kenaikan vitamin A nya hanya 124,7 IU, padahal secara teoritis ada tambahan 660 IU, dengan demikian vitamin A yang ditemukan kembali hanya sekitar 25%. Kehilangan vitamin A ini dimungkinkan berasal dari proses pembuatan tempe (Rahayu Astuti, 2014). Menurut deMan (1999), sifat vitamin A sangat mudah dioksidasi, terutama jika dipengaruhi oleh cahaya, sinar matahari atau cahaya buatan. Vitamin A tidak stabil jika ada asam mineral tetapi stabil dalam basa.
Pada tempe mentah, kadar zat besi (Fe) meningkat dengan makin meningkatnya kadar zat besi yang ditambahkan. Namun jika dihitung penambahan Fe elemental secara teoritis dibandingkan kadar Fe hasil analisis, maka Fe yang ditemukan kembali dalam tempe fortifikasi sekitar 60% (rerata dari tiap perlakuan). Perhitungan dengan cara : pada perlakuan FeS04 90 mg/kg berat basah (bb) secara teoritis menambahkan Fe elemental sebanyak 33 mg/ kg (memperhitungkan Berat Molekul) atau 3,3/100 g. Pada tempe tanpa fortifikasi rerata Fe hasil analisis adalah 2,0 mg. Dengan demikian Fe yang diharapkan dalam tempe fortifikasi 5,3 mg namun hasil analisis diperoleh rata-rata Fe 3,46. Jadi Fe yang ditemukan kembali setelah menjadi tempe fortifikasi adalah 65%. Dengan cara yang sama dapat dihitung pada perlakuan FeS04 110 mg/kg bb, 130 mg/kg bb dan 150 mg/ kg bb. Pada penelitian Tawali (2000) Fe yang ditemukan kembali pada tempe fortifikasi besi adalah sekitar 80% dan besi terlarut dalam pembuatan tempe fortifikasi sekitar 11-18 %. Hal ini dimungkinkan karena zat besi sebagian dijadikan sebagai trace element yang dibutukan oleh kapang untuk pertumbuhannya dan sisanya terperangkap oleh micellia kapang yang terbentuk serta sebagaian membentuk kompleks dengan komponen kacang kedelai (Tawali, 2000). Pada penelitian inikadar zat besi, tembaga dan seng antara tempe mentah dan matang terlihat menurun namun setelah diuji statistik tidak bermakna. Menurut Palupi (2010) faktor lingkungan yang mempengaruhi kerusakan zat besi antara lain panas, udara, cahaya dan kelembaban, khususnya untuk tembaga, besi dan seng. Stabilitas zat besi tergantung dari beberapa faktor diantaranya adalah sifat alami bahan pembawa, ukuran partikel serta paparan terhadap panas, kelembaban dan udara. Pada tempe matang kadar Fe antar perlakuan bervariasi, dan tidak linier sesuai dengan penambahan kadar zat besi. Hal ini karena adanya faktor pemasakan, yaitu faktor suhu dan lama pemasakan.
Baca lebih lanjut di jurnal berikut ini:
Rahayu Astuti, Siti Aminah, Agustin Syamsianah; Komposisi Zat Gizi Tempe Yang Difortifikasi Zat Besi Dan Vitamin A Pada Tempe Mentah Dan Matang. Agritech, Vol. 34, No. 2, Mei 2014.
No comments:
Post a Comment