Ringkasan Jurnal Gizi oleh Presna Chrismaesy Simanjuntak
Sebagai negara dengan penduduk besar dan wilayah sangat luas, ketahanan pangan merupakan hal penting di dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Menjadi sangat penting bagi Indonesia untuk mampu mewujudkan ketahanan pangan nasional, wilayah, rumah tangga dan individu yang berbasiskan kemandirian penyediaan pangan domestik. Kemandirian ini semakin penting di tengah kondisi dunia yang mengalami krisis pangan, energi dan finansial yang ditandai harga pangan internasional mengalami lonjakan drastis, meningkatnya kebutuhan pangan untuk energi alternatif, resesi ekonomi global yang berakibat semakin menurunnya daya beli masyarakat terhadap pangan, serbuan pangan asing (weternisasi diet) berpotensi besar penyebab gizi lebih, dan meningkatnya ketergantungan pada impor. Pemerintah dengan berbagai program terus berupaya untuk meningkatkan produksi pangan.
Upaya pencapaian produksi pangan kedepan tampaknya akan menemui kendala akibat adanya perubahan iklim di Indonesia. Dampak perubahan pola hujan dan kejadian iklim ekstrim antara lain peningkatan ancaman organisme pengganggu tanaman, mundurnya awal musim hujan, kebanjiran, dan kekeringan. Akibat dari hal tersebut, resiko penurunan produksi akan bertambah dari 2,4-6% menjadi 10% jika tidak ada terobosan baru. Apalagi jumlah penduduk Indonesia yang semakin banyak, oleh karena itu sangatlah tepat kalau salah satu target utama Kementerian Pertanian adalah diversifikasi pangan. (Haryono 2010).
Lalu ke arah mana konsumsi pangan masyarakat? Badan Pusat Statistik mengelompokkan pengeluaran menjadi dua yaitu pengeluaran untuk pangan dan pengeluaran non pangan. Komposisi pengeluaran rumah tangga dapat dijadikan ukuran untuk menilai tingkat kesejahteraan ekonomi masyarakat. Semakin rendah persentase pengeluaran untuk makanan terhadap total pengeluaran maka semakin membaik tingkat perekonomian masyarakat. Pada data Survei Ekonomi Nasional (SUSENAS) terdapat 215 jenis makanan yang dikumpulkan dan dikelompokkan pada 14 kelompok untuk pangan dan 6 kelompok untuk non pangan. Makanan pokok masyarakat Indonesia adalah beras, tetapi sekarang terjadi pergeseran pola makan di masyarakat yaitu dari makanan yang dimasak di rumah ke arah makanan yang dimasak di luar rumah seperti di restoran, kafe, warung tegal (warteg), dan lainnya. Gejala ini juga dapat diterjemahkan sebagai indikasi terjadinya pengurangan konsumsi beras pada masyarakat. Penurunan daya beli masyarakat berdampak negatif pada penurunan pembelian pangan hewani, sayur, serta buah. Penurunan yang mencapai hampir setengahnya pada sayur dan buah perlu mendapat perhatian serius, karena sayur dan buah adalah makanan yang banyak dianjurkan untuk dikonsumsi mengingat peranannya dalam kesehatan manusia sangat penting.
Tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein dapat digunakan sebagai indikator untuk melihat kondisi gizi masyarakat dan juga keberhasilan pemerintah dalam pembangunan pangan, pertanian, kesehatan, dan sosial ekonomi secara terintegrasi. Dalam mengonsumsi makanan, aspek yang diperhatikan tidak hanya masalah kuantitas tetapi juga aspek kualitas pangan. Secara kuantitas pangan telah diuraikan terdahulu bahwa konsumsi energi masih sedikit di bawah yang dianjurkan sedangkan protein sudah melebihi dari ketentuan. Bagaimana pola pangan masyarakat dilihat dari aspek kualitas pangan? Selama ini untuk megukur kualitas pangan yang sekaligus juga keragaman/diversifikasi konsumsi pangan dilakukan dengan memperhatikan skor Pola Pangan Harapan (PPH). Kualitas pangan dianggap baik dan terdiversifikasi sempurna apabila skor PPH mencapai 100 dan dapat dikatakan semakin tinggi skor, diversifikasi konsumsi pangan semakin baik.
Konsumsi beras cenderung menurun dari tahun ke tahun walaupun dengan laju yang kecil, konsumsi jagung dan umbi-umbian juga mengalami penurunan dalam lima tahun terakhir. Masih adanya masyarakat termasuk media massa yang menganggap pangan lokal umbi-umbian adalah makanan inferior dan dianggap orang miskin bila mengonsumsinya maka akan sulit untuk meningkatkan konsumsi umbi-umbian, padahal umbi-umbian sangat baik untuk kesehatan karena salah satu faktornya adalah indeks glikemiknya yang rendah sehingga mampu mencegah terjadinya penyakit diabetes. Sedangkan konsumsi pangan hewani dan sayur/buah mengalami kenaikan dari tahun ke tahun, namun tingkat konsumsinya masih lebih rendah dibandingkan dengan anjuran PPH. Kedua kelompok pangan ini sangat penting peranannya dalam kesehatan manusia dan sekaligus pencapaian kualitas sumber daya manusia.
Pola konsumsi masyarakat Indonesia masih perlu ditingkatkan keragamannya baik mencakup pangan pokok maupun untuk jenis pangan lainnya. Diversifikasi pangan juga menjadi salah satu pilar utama dalam mewujudkan ketahanan pangan, apalagi bila mengacu pada konsep gizi bahwa tidak ada satu jenis pangan pun yang lengkap zat gizinya sesuai dengan kebutuhan manusia untuk hidup sehat. Dari segi fisiologis, manusia untuk dapat hidup aktif dan sehat memerlukan lebih dari 40 jenis zat gizi yang terdapat pada berbagai jenis makanan. Tidak ada jenis pangan yang lengkap gizinya kecuali ASI.
Tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia semakin membaik yang ditunjukkan dengan pangsa pengeluaran pangan yang semakin kecil. Pola konsumsi pangan masyarakat sudah semakin beragam. Untuk menuju pola pangan PPH, konsumsi beras harus dikurangi, sebaliknya untuk umbi-umbian, pangan hewani, sayur, dan buah masih perlu ditingkatkan secara signifikan. Dengan persamaan persepsi, gerak langkah yang tepa, dan konsisten dalam inplementasinya maka upaya diversifikasi pangan akan terwujud.
Artikel ini ditulis oleh Presna Chrismaesy Simanjuntak – 41150060.
No comments:
Post a Comment