Stunting merupakan salah satu masalah gizi utama yang masih banyak terjadi di Indonesia. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menunjukkan prevalensi nasional anak balita pendek (stunted) dan anak balita sangat pendek (severe stunted) berdasarkan indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) adalah 37.2% (terdiri dari 18.0% sangat pendek dan 19.2% pendek). Penelitian Hizni et al. (2009) mnyatakan bahwa stunting dapat mempenggaruhi kemampuan verbal. Walker et al. (2005) menyatakan stunting dapat mempengaruhi perkembangan kognitif.Berbagai faktor dapat memengaruhi terjadinya stunting. Status gizi orangtua, terutama status gizi ibu sangat berkaitan dengan kejadian anak pendek. Penelitian Zottarelli et al. (2007) di Mesir menunjukkan bahwa tinggi badan ibu <150 cm cenderung memiliki anak yang stunting.
Lokasi penelitian di Desa Batulawang, Kecamatan Cipanas, Kabupaten Cianjur. Pemilihan lokasi tersebut atas pertimbangan prevalensi kurang gizi kronis yang tinggi. Populasi meliputi seluruh anak usia dibawah lima tahun dengan responden penelitian yaitu ibu dari anak balita yang menjadi subjek. Pemilihan subjek penelitian didasarkan atas pertimbangan memiliki prevalensi kurang gizi kronis yang tinggi diantara kecamatan yang lain. Variabel-variabel yang diteliti meliputi sosial ekonomi keluarga (pendapatan per kapita dan besar keluarga), karakteristik anak balita (usia, jenis kelamin, dan tinggi badan), karakteristik ibu (tinggi badan, pendidikan, pekerjaan dan pengetahuan gizi) dan asupan gizi (asupan energi dan protein) anak. Pengumpulan data tersebut dilakukan melalui wawancara menggunakan kuesioner, pengukuran antropometri dan food recall 1x24 jam.
Hasil penelitian menunjukkan anak stunting lebih banyak berumur 48—59 bulan (29.8%) sedangkan anak normal lebih banyak berumur 6—11 bulan (37.2%). Jadi, bertambahnya umur anak, maka akan semakin jauh dari pertumbuhan linier normal. Kondisi ini diduga disebabkan oleh semakin tinggi usia anak maka kebutuhan energi dan zat gizi juga semakin meningkat. Penelitian Zottarelli et al. (2007) menyatakan bahwa anak stunting lebih banyak pada umur ≥12 bulan dibandingkan <12 bulan.
Sebagian besar ibu anak (67.8%) tergolong pendek. Anak stunting (74.5%) lebih banyak memiliki ibu yang pendek daripada anak normal (60.5%). (Black et al. (2008) menjelaskan status gizi yang buruk dan tinggi badan ibu yang pendek dapat meningkatkan risiko kegagalan pertumbuhan intrauterine, namun menurut hasil uji korelasi Pearson tidak ada hubungan yang signifikan (p>0.05, r=0.562) antara tinggi badan ibu dengan status gizi (TB/U) anak. Hal ini diduga karena ibu pendek akibat patologis atau kekurangan zat gizi bukan karena kelainan gen dalam kromosom. Mamabolo et al. (2005) menjelaskan bahwa orangtua yang pendek karena gen dalam kromosom yang membawa sifat pendek kemungkinan besar akan menurunkan sifat pendek tersebut kepada anaknya. Apabila sifat pendek orangtua disebabkan masalah gizi maupun patologis, maka sifat pendek tersebut tidak akan diturunkan kepada anaknya. Penelitian ini tidak meneliti faktor-faktor yang memengaruhi tinggi badan ibu sehingga tidak dapat dibedakan apakah tinggi badan ibu saat ini merupakan pengaruh genetik atau karena pengaruh patologis maupun malnutrisi.
Artikel ini ditulis oleh Denny Hendrawan - 41150011
Baca lebih lanjut di Jurnal berikut ini :
Hanum, Farida ( Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia (FEMA), Institut Pertanian Bogor, Bogor 16680) ; Khomsan, Ali ( Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia (FEMA), Institut Pertanian Bogor, Bogor 16680) ; Heryatno, Yayat ( Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia (FEMA), Institut Pertanian Bogor, Bogor 16680)
Jurnal Gizi dan Pangan Vol 9, No 1 (2014): MARET 2014
Publisher: Jurnal Gizi dan Pangan
Show Abstract | Download citation: RIS (EndNote, Reference Manager, ProCite) | Bibtex | PDF (250 kb) | view from original source
|
No comments:
Post a Comment