Pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan salah satu prioritas pembangunan skala nasional maupun daerah. Salah satu bentuk pembangunan sumber daya manusia yang dimana merupakan suatu upaya strategis untuk menciptakan SDM yang unggul, tangguh dan berkualitas baik secara fisik dan mental dapat memberikan dampak positif tidak hanya meningkatkan daya saing dan kemandirian bangsa, namun juga dalam pembangunan nasional yaitu pembangunan pangan dan gizi. Dalam penerapannya, pembangunan tersebut melibatkan lintas sektor, mulai dari aspek produksi pangan, distribusi, keterjangkauan, konsumsi sampai pada aspek pemanfaatan yang mempengaruhi status gizi.
Pangan dan gizi menjadi hak asasi manusia seperti yang dicantumkan dalam undang-undang nomor 18 tahun 2012 tentang pangan. Undang-undang tersebut dipertegas dan ditindaklanjuti dalam Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2015 tentang Ketahanan Pangan dan Gizi yang menyebutkan bahwa ketahanan pangan dan gizi merupakan kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan dan gizi bagi negarasa sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragamm memenuhi kecukupan gizi, merata dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agam, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk mewujudkan status gizi yang baik agar dapat hidup sehat, aktif, dan produktif berkelanjutan.
Walaupun sudah diatur dalam suatu undang-undang, tetap saja terjadi hambatan dan kesulitan dalam pengaplikasiannya. Salah satu kondisi yang terjadi terhadap SDM di Indonesia saat ini adalah terjadinya beban masalah gizi ganda (double burden malnutrition) yaitu permasalahan kekurangan dan kelebihan gizi. Permasalahan tersebut disinyalir timbul dari akibat dari kekurangan dan kelebihan gizi pada fase awal kehidupan yang berdampak pada usia dewasa. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar Kemenkes RI tahun 2013 menunjukkan prevalensi masalah gizi mengalami peningkatan, antara lain peningkatan stunting pada anak balita dari 35,6% persen tahun 2010 menjadi 37,2% tahun 2013. Prevalensi overweight mengalami penurunan yang tidak begitu bermakna, yaitu 12,2% tahun 2010 menjadi 11,9% tahun 2013.
Jumlah dan asupan kualitas pangan memberikan dampak yang nyata terhadap status gizi seseorang. Timbulnya permasalahan dalam hal tersebut berdampak langsung terhadap berbagai aspek kehidupan, seperti rentan terserang penyakit, menurunkan kesempatan mengenyam pendidikan, dan kehilangan potensi maksimal sebagai sumber daya manusia.
Maka dari itu, karena pentingnya intervensi terhadap pangan dan gizi dalam pembangunan sumber daya manusia Indonesia, pemerintah memiliki kewajiban sebagai stakeholder dalam membuat/ menyusun kebijakan terkait hal tersebut. Adapun salah satu kebijakan yang telah disusun tersebut dilaksanakan di daerah Jawa Tengah berupa Peraturan Gubernur Jawa Tengah Nomor 85 Tahun 2016 Tentang Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi Provinsi Jawa Tengah Tahun 2015-2019.
Berdasarkan kebijakan yang telah dibuat tersebut, penulis akan melakukan analisis kebijakan dengan tujuan, antara lain:
1. Mengetahui gambaran umum mengenai Kebijakan Peraturan Gubernur Jawa Tengah No. 85 Tahun 2016 Tentang Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi Provinsi Jawa Tengah Tahun 2015-2019
2. Menganalisis secara retrospektif Kebijakan Peraturan Gubernur Jawa Tengah No. 85 Tahun 2016 Tentang Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi Provinsi Jawa Tengah Tahun 2015-2019 ditinjau dari segitiga kebijakan yang meliputi actor, konteks, konten dan proses.
ANALISIS SEGITIGA KEBIJAKAN
PARA PELAKU PENYUSUN KEBIJAKAN
1. Gubernur Jawa Tengah2. Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Tengah3. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa tengah4. Sembilan belas Satuan Perangkat Kerja Daerah (SKPD) Provinsi Jawa Tengah, antara lain: 1) Badan Perencanaan Pembangunan Daerah; 2) Dinas Kesehatan; 3) Badan Ketahanan Pangan; 4) Badan Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (BP3AKB); 5) Dinas Pendidikan; 6) Sekretariat Badan Koordinasi Penyuluhan (Bakorluh); 7) Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan; 8) Dinas Perkebunan; 9) Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan; 10) Dinas Kelautan dan Perikanan; 11) Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika (Dishubkominfo); 12) Dinas Sosial; 13) Dinas Perindustrian dan Perdagangan; 14) Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA); 15) Badan Lingkungan Hidup; 16) Badan Pemberdayaan Masyarakat dab Pemerintahan Desa (Bapermasdes); 17) Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga; 18) Dinas Ciptakarya dan Tata Ruang; 19) Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Kependudukan5. Tiga Perwakilan Instansi Pusat di Provinsi Jawa Tengah yaitu: 1) Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan; 2) Kantor Wilayah Kantor Agama; 3) Badan Pusat Statistik
FAKTOR KONTEKSTUAL YANG MEMPENGARUHI KEBIJAKAN
Faktor Situasional, berupa:
1. Kekurangan gizi dan kelebihan gizi pada beberapa siklus kehidupan manusia. Beban masalah tersebut berawal dari kekurangan dan kelebihan gizi pada fase awal kehidupan. Hasil Riset Kesehatan Dasar yang menunjukkan perbaikan status gizi masyarakat belum mencapai target.
2. Kesenjangan status gizi balita yang berada di pedesaan dengan di perkotaan. Berkaitan dengan kemiskinan, pendidikan yang rendah dan masih rendahnya pengetahuan, dan kesadaran gizi masyarakat akan pentingnya gizi, seperti pemberian asi eksklusif, pola pemberian MPASI.3. Terdapat daerah dengan ketersediaan pangannya yang belum cukup dalam jumlah dan mutu, aman, merata dan terjangkau. Sebagai contoh, masih terdapat kerawanan pangan yaitu berupa kondisi dimana pada wilayah tersebut sebagian rumah tangga penduduknya tidak dapat memenuhi 70% kecukupan energi dan protein untuk pertumbuhan fisiologis normal. Ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga belum mencukupi yang akan mempengaruhi ketahanan pangan individu dan skor Pola Pangan Harapan tidak meningkat. Umumnya terindikasi pada penduduk miskin.
Faktor struktural, berupa:
1. Ketersediaan tenaga ahli gizi yang masih kurang di beberapa daerah pedesaan di Jawa Tengah, sehingga kurang optimal upaya KIE kepada masyarakat
2. Sumber daya alam yang dibutuhkan semakin menipis dengan produksi yang makin terbatas dan berskala kecil, menyebabkan dilakukannya impor dari daerah lain ataupun negara lain.3. Kebijakan dan program terkait perbaikan gizi yang masih terkotak-kotak. Kurangnya kerjasama lintas sektoral membuat intervensi terhadap gizi dan pangan tidak maksimal.4. Tingginya angka kemiskinan menyebabkan daya beli terhadap komoditas pangan rendah.5. Rendahnya tingkat pendidikan dan pengetahuan gizi masyarakat
Faktor budaya, berupa:
1. Rendahnya konsumsi buah dan sayur, tingginya konsumsi garam dan makanan tinggi lemak serta rendahnya aktivitas fisik. Sebagai akibat dari sibuknya masyarakat di perkotaan, pola makan yang tidak seimbang dan rendahnya aktivitas fisik sangat berpengaruh dibandingkan dengan masyrakat di pedesaan yang setiap harinya kebanyakan bekerja di sawah ataupun kebun.2. Diversifikasi konsumsi pangan rendah dan konsumsi pada jenis pangan tertentu semakin meningkat, yaitu beras. Karena masyarakat Indonesia masih berasumsi, tidak makan jika tidak makan nasi.
Faktor internasional, berupa:
1. Target pembangunan dari Millennium Development Goal's yang dideklarasikan anggota PBB yang berkaitan dengan gizi buruk dan kemiskinan. MDG's telah berakhir, yang kemudian dilanjutkan dengan Sustainable Development Goal's yang bertujuan melanjutkan pembangunan gizi, yaitu mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan meningkatkan kualitas gizi.
PROSES PENYUSUNAN KEBIJAKAN
1. Identifikasi masalah dan isu
Permasalahan gizi yang terjadi di Indonesia merupakan permasalahan yang sudah ada sejak lama. Pada tahun 1950-an Indonesia menggunakan pedoman makan 4 sehat 5 sempurna. "Konsep tersebut diciptakan karena pada tahun tersebut orang belum mengetahui cara makan yang benar, tetapi sejak tahun 1990-an, terjadi pergeseran permasalahan gizi di berbagai neraga terutama Indonesia". Banyak ditemukan masalah kegemukan. Kemudian digantilah pedoman 4 sehat 5 sempurna tersebut dengan Pedoman Gizi Seimbang pada tahun 2003 oleh FAO dan WHO. Perubahan pedoman tersebut ternyata masih belum terlalu memberikan dampak terutama bagi Indonesia khususnya di wilayah Jawa Tengah. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar Kemenkes RI tahun 2013 menunjukkan prevalensi masalah gizi mengalami peningkatan, antara lain peningkatan stunting pada anak balita dari 35,6% persen tahun 2010 menjadi 37,2% tahun 2013. Prevalensi overweight mengalami penurunan yang tidak begitu bermakna, yaitu 12,2% tahun 2010 menjadi 11,9% tahun 2013.
Indonesia menjadi salah satu negara yang termasuk dalam 17 negara dengan masalah gizi serius, hasil Global Nutrition Report 2014. Salah satu efek kekurangan gizi di Indonesia adalah stunting, atau tubuh terlalu pendek. Data Riskesdas mencatat balita Indonesia yang mengalami staunting di 2015 sebanyak 29,6%, dan beberapa kalangan menganggap kemiskinan sebagai penyebab utama masalah tersebut. Namun menurut Prof.Dr.Hardinsyah Guru Besar Ilmu Gizi Institut Pertanian Bogor, "Kemiskinan bukan akar dari masalah gizi di Indonesia" sebab klaim pemerintah terhadap orang miskin di Indonesia hanya 10%, sedangkan penderita masalah gizi ditas 10%. Sehingga menjelaskan ada masyarakat tidak miskin atau punya daya beli, tetapi menderita masalah gizi.
Selain itu, permasalahan gizi juga disebabkan oleh penyebab langsung dan tidak langsung seperti yang dipublikasikan oleh UNICEF. Penyebab langsung: makanan dan penyakit yang dapat menyebabkan gizi kurang. Pada anak yang mendapatkan cukup makanan, tetapi sering menderita sakit, pada akhirnya dapat menderita gizi kurang. Demikian pula pada anak yang tidak memperoleh cukup makan, daya tahan tubuhnya akan melemah dan akan mudah teserang penyakit. Untuk penyebab tidak langsung, antara lain: ketahanan pangan keluarga yang kurang memadai, pola pengasuhan anak yang kurang sesuai, dan pelayanan kesehatan dan lingkungan yang kurang memadai. Ketiga faktor tersebut berkaitan dengan tingkat pendidikan, pengetahuan dan keterampilan keluarga. Selain itu, kurangnya pemberdayaan keluarga dan pemanfaatan sumber daya masyarakat diprediksi sebagai pokok permasalahan yang terjadi.
2. Perumusan kebijakan
Peraturan Gubernur No. 85 Tahun 2016 tentang Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi (RAD PG) Provinsi Jawa Tengah merupakan dokumen perencanaan turunan dari RAD PG sebagai bagian dari upaya mewujudkan ketahanan pangan dan perbaikan status gizi masyarakat, yang merupakan amanat UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, pasal 63 *ayat 3) yang menyebutkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah menyusun rencana aksi Pangan dan Gizi setiap lima tahun. RAD PG 2015-2019 merupakan lanjutan dari RAD PG 2011-2015, dengan tujuan akhir Perbaikan Kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia Khususnya di Provinsi Jawa Tengah.
Rencana aksi ini juga merupakan upaya melaksanakan UU no. 36 tahun 2009 tentang kesehatan, dan Perpres No. 42 tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi. Pemerintah melalui Perpres No. 2 Tahun 2015 tentang RPJMN 2015-2019 juga menegaskan pentingnya percepatan perbaikan gizi masyarakat melalui penguatan peran lintas sektor dalam rangka intervensi sensitive dan spesifik yang didukung oleh penginkatan kapasistas pemerintah pusat, provinsim dan kabupaten/kota dalam pelaksanaan rencana aksi pangan dan gizi.
3. Pelaksanaan kebijakan
Setelah ditetapkannya Pergub No. 85 Tahun 2016 ini, setiap instansi baik pemerintah, swasta maupun organisasi atau lembaga masyarkat mempunyai pedoman dalam melakukan intervensi kepada masyarakat terhadap pembangunan pangan dan gizi. Bentuk-bentuk pelaksanaan kebijakan berupa program yang berdasarkan pada permasalahan yang ada, disertai dengan target yang harus dicapai pada tahun 2019 nanti. Terdapat 15 indikator yang menjadi amanah utama Rencana Aksi Pangan Nasional Pangan dan Gizi Tahun 2015-2019, antara lain: peningkatan pengetahuan gizi remaja, konsumsi energy dan zat gizi tercukupi, penganekaragaman makanan, penanggulangan gizi buruk akut, ketersediaan pangan, akses ekonomi dan pemanfaat pangan, dll.
4. Evaluasi kebijakan
Untuk mengetahui efektifitas dari pelaksanaan rencana aksi daerah pangan dan gizi perlu dilakukan Monitoring dan Evalusasi (Monev) pelaksanaan Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi Provinsi Jawa Tengah Tahun 2015-2019 untuk periode capaian tahun 2015 sampai Semester I Tahun 2017. Berdasarkan hasil evaluasi tersebut diharapkan berbagai kendala baik menyangkut pemenuhan target capaian indikator maupun teknis pelaksanaan dan koordinasi di lapangan dapat diselesaikan dengan baik karena konsep multi sektor membutuhkan koordinasi yang lebih intensif secara lintas sektor, melalui koordinasi dan integrasi perencanaan awal; penentuan prioritas (sasaran dan jenis kegiatan); koordinasi untuk membahas tantangan, proses, dan berbagai faktor yang terjadi pada saat pelaksanaan.
ISI (KONTEN) DALAM KEBIJAKAN
Peraturan Gubernur Jawa Tengah No. 85 Tahun 2016 Tentang Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi Provinsi Jawa Tengah Tahun 2015-2019 merupakan dokumen perencanaan sebagai pedoman dan arahan untuk mewujudkan ketahanan pangan dan pencapaian status gizi bagi masyarakat di Provinsi Jawa Tengah dalam mendukung pelaksanaan pembangunan daerah pada tahun 2015 sampai dengan tahun 2019 dalam bentuk arah kebijakan, strategi dan program serta kegiatan.
Peraturan tersebut menitikberatkan pada lima pilar utama, yaitu 1) Perbaikan gizi masyarakat, 2) Aksesibilitas pangan beragam, 3) Mutu dan keamanan pangan, 4) Peningkatan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat, 5) penguatan kelembagaan pangan dan gizi.
KESIMPULAN
Peraturan Gubernur Jawa Tengah No. 85 Tahun 2016 merupakan salah satu kebijakan kesehatan yang mengintegrasikan berbagi sektor yang terdapat di wilayah kerjanya dalam rangka pembangunan Sumber Daya Manusia yang berkualitas dan unggul serta mempunyai daya saing.Dengan menggunakan pendekatan segitiga kebijakan, sebuah kebijakan kesehatan dapat dipahami mengenai pentingnya mempertimbangkan isi kebijakan, proses penyusunan kebijakan dan bagaimana kekuatan digunakan dalam kebijakan kesehatan.Dari segi aktor, menunjukkan banyak pihak yang terkait dalam penyusunan kebijakan tersebut. Akan tetapi peran serta masyarakat dalam penyusunan kebijakan tampak tidak ada sama sekali, karena dalam kebijakan ini masyarakat sangat terlihat menjadi subyek dalam kebijakan.Dalam faktor kontekstual, faktor situasi, structural, budaya dan internasional sangat mempengaruhi terbentuknya kebijakan ini. Banyaknya maslah yang disebabkan oleh gizi secara tidak langsung berkaitan dengan ketersediaan pangan.Proses pembuatan kebijakan Pergub Jateng No.85 tahun 2016 disusun atas isu permasalahan yang terjadi secara global dan di Indonesia, khususnya di Jawa Tengah, yaitu permasalahan double burden gizi dan ketersediaan pangan terhadap masyarakat.Konten dalam kebijakan tersebut, berisikan pedoman bagi berbagai instansi dalam melakukan berbagai upaya pembangunan SDM Indonesia bidang pangan dan gizi.
SUMBER:
Artikel ini ditulis oleh : Made Bayu Prasetia Mulia
No comments:
Post a Comment